Jumat, 20 Desember 2019

Pembuktian


Dalam memeriksa sutau perkara, hakim bertugas untuk mengkonstantir, mengkualifisir dan kemudian mengkonstituir. Mengkonstatntir artinya  hakim harus menilai apakah peristiwa atau fakta fakta yang dikemukakan oleh para pihak itu adalah benar-benar terjadi. Hal ini hanya dapat dilakukan melalui pembuktian. Karena itu pembuktian  diartikan sebagai penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum kepada hakim yang memeriksa suatu perkara guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang dikemukakan. Membuktikan adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Dengan demikian tampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam persengketaan atau perkara dimuka hakim atau pengadilan. Disisi lain, membuktikan artinya mempertimbangkan secara logis kebenaran suatu fakta/peristiwa berdasarkan alat-alat bukti yang sah dan menurut hukum pembuktian yang berlaku. Dalam pembuktian ini, maka para pihak memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukannya.
Kebenaran yang  diperoleh dari pembuktian berhubungan langsung dengan keputusan yang adil oleh hakim. Ada hal atau peristiwa yang dikecualikan atau tidak perlu diketahui oleh hakim, diantaranya :
a.       Peristiwanya memang dianggap tidak perlu diketahui oleh atau tidak mungkin diketahui oleh hakim.
b.      Hakim secara ex officio dianggap mengenall peristiwanya, sehingga tidak perlu dibuktikan lebih lanjut.
c.       Pengetahuan tentang pengalaman.
Hukum perdata mengatur hubungan hukum keperdataan tidak perlu diajukan atau dibuktikan oleh pihak-pihak yang berpekara, karena hakim dianggap telah mengetahui hukum yang tidak tertulis yang hidup ditengah masyarakat. Peristiwa yang penting itulah yang harus dibuktikan, sedangkan peristiwa yang tidak penting tidak perlu dibuktikan dalam perkara hutang-piutang misalnya, maka tidaklah relevan bagi hukum tentang warna baju yang dipakai oleh penggugat dan tergugat pada waktu mengadakan perjanjian hutang-piutang tersebut. Yang relevan adalah apakah antara penggugat dan tergugat pada waktu dan tempat tertentu benar-benar mengadakan perjanjian hutang-piutang dan sah menurut hukum ?
Dalam hal ini ada beberapa teori tentang beban pembuktian yang dapat merupakan pedoman bagi hakim.
1.      Teori Pembuktian yang bersifat menguatkan belaka (bloot affirmatief)
Teori ini mengemukakan sesuatu harus membuktikannya dan bukan yang mengingkari atau menyangkalnya. Dasar hokum teori ini adalah pendapat bahwa hal hal yang negative tidak mungkin dibuktikan (negativa opn sunt probanda).
2.      Teori Hukum Subjektif
Teori ini menggambarkan suatu proses perdata itu selalu merupakan pelaksanaan hukum subjektif atau bertujuan memepertahankan hukum subjektif, dan siapa yang mengemukakan atau mengaku mempunyai sesuatu hak harus membuktikannya. Teori ini berdasarkan pada pasal 1865 BW “Pasal 1865 Setiap orang yang mengaku mempunyai suatu hak, atau menunjuk suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya itu atau untuk membantah suatu hak orang lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau kejadian yang dikemukakan itu.”
3.      Teori Hukum Objektif
Teori ini mengajukan tuntutan hak atau gugatan berarti bahwa penggugat minta kepada hakim agar hakim menerapkan ketentuan-ketentuan hokum objektif terhadap peristiwa yang diajukan.
4.      Teori Hukum Publik
Menurut teori ini mencari kebenaran suatu peristiwa didalam peradilan merupakan kepentingan publik.
5.      Teori Hukum Acara
Asas audi et alteram atau juga asas kedudukan proseusuil yang sama daripada para pihak di muka hakim yang merupakan asas pembagian beban pembuktian menurut teori ini.

Menurut sistem HIR, dalam acara perdata hakim terikat pada alat-alat bukti yang sah, yang berarti bahwa hakim hanya boleh mengambil keputusan berdasarkan alat-alat bukti yang ditentukan oleh Undang-Undang saja. Menurut sistem HIR dan Rbg hakim terikat dnegan alat-alat bukti sah yang diatur dengan undang-undang. Ini berarti hakim hanya boleh menjatuhkan putusan berdasarkan alat-alat bukti yang telah diatur undang-undang. Menurut ketentuan pasal 164 HIR, 284 Rbg ada lima jenis alat bukti dalam perkara perdata, yaitu:
1. Surat
2. Saksi
3. Persangkaan
4. Pengakuan
5. Sumpah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar