Dalam memeriksa sutau perkara, hakim bertugas untuk mengkonstantir,
mengkualifisir dan kemudian mengkonstituir. Mengkonstatntir artinya hakim harus menilai apakah peristiwa atau
fakta fakta yang dikemukakan oleh para pihak itu adalah benar-benar terjadi.
Hal ini hanya dapat dilakukan melalui pembuktian. Karena itu pembuktian diartikan sebagai penyajian alat-alat bukti
yang sah menurut hukum kepada hakim yang memeriksa suatu perkara guna
memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang dikemukakan. Membuktikan
adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang
dikemukakan dalam suatu persengketaan. Dengan demikian tampaklah bahwa
pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam persengketaan atau perkara dimuka
hakim atau pengadilan. Disisi lain, membuktikan artinya mempertimbangkan secara
logis kebenaran suatu fakta/peristiwa berdasarkan alat-alat bukti yang sah dan
menurut hukum pembuktian yang berlaku. Dalam pembuktian ini, maka para pihak
memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang
bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang
diajukannya.
Kebenaran yang
diperoleh dari pembuktian berhubungan langsung dengan keputusan yang adil
oleh hakim. Ada hal atau peristiwa yang dikecualikan atau tidak perlu diketahui
oleh hakim, diantaranya :
a.
Peristiwanya memang dianggap tidak perlu diketahui oleh atau tidak mungkin
diketahui oleh hakim.
b.
Hakim secara ex officio dianggap mengenall peristiwanya, sehingga tidak
perlu dibuktikan lebih lanjut.
c. Pengetahuan tentang pengalaman.
Hukum perdata mengatur hubungan hukum keperdataan tidak perlu
diajukan atau dibuktikan oleh pihak-pihak yang berpekara, karena hakim dianggap
telah mengetahui hukum yang tidak tertulis yang hidup ditengah masyarakat. Peristiwa
yang penting itulah yang harus dibuktikan, sedangkan peristiwa yang tidak
penting tidak perlu dibuktikan dalam perkara hutang-piutang misalnya, maka
tidaklah relevan bagi hukum tentang warna baju yang dipakai oleh penggugat dan
tergugat pada waktu mengadakan perjanjian hutang-piutang tersebut. Yang relevan
adalah apakah antara penggugat dan tergugat pada waktu dan tempat tertentu
benar-benar mengadakan perjanjian hutang-piutang dan sah menurut hukum ?
Dalam hal ini ada beberapa teori tentang beban
pembuktian yang dapat merupakan pedoman bagi hakim.
1. Teori Pembuktian yang bersifat menguatkan belaka (bloot affirmatief)
Teori ini mengemukakan sesuatu harus membuktikannya dan bukan yang
mengingkari atau menyangkalnya. Dasar hokum teori ini adalah pendapat bahwa hal
hal yang negative tidak mungkin dibuktikan (negativa opn sunt probanda).
2. Teori Hukum Subjektif
Teori ini menggambarkan suatu proses perdata itu selalu merupakan
pelaksanaan hukum subjektif atau bertujuan memepertahankan hukum subjektif, dan
siapa yang mengemukakan atau mengaku mempunyai sesuatu hak harus
membuktikannya. Teori ini berdasarkan pada pasal 1865 BW “Pasal 1865 Setiap
orang yang mengaku mempunyai suatu hak, atau menunjuk suatu peristiwa untuk
meneguhkan haknya itu atau untuk membantah suatu hak orang lain, wajib
membuktikan adanya hak itu atau kejadian yang dikemukakan itu.”
3. Teori Hukum Objektif
Teori ini mengajukan tuntutan hak atau gugatan
berarti bahwa penggugat minta kepada hakim agar hakim menerapkan
ketentuan-ketentuan hokum objektif terhadap peristiwa yang diajukan.
4. Teori Hukum Publik
Menurut teori ini mencari kebenaran suatu peristiwa didalam peradilan
merupakan kepentingan publik.
5. Teori Hukum Acara
Asas audi et alteram atau juga asas kedudukan proseusuil yang
sama daripada para pihak di muka hakim yang merupakan asas pembagian beban
pembuktian menurut teori ini.
Menurut sistem HIR, dalam acara perdata hakim terikat pada
alat-alat bukti yang sah, yang berarti bahwa hakim hanya boleh mengambil
keputusan berdasarkan alat-alat bukti yang ditentukan oleh Undang-Undang saja.
Menurut sistem HIR dan Rbg hakim terikat dnegan alat-alat bukti sah yang diatur
dengan undang-undang. Ini berarti hakim hanya boleh menjatuhkan putusan
berdasarkan alat-alat bukti yang telah diatur undang-undang. Menurut ketentuan
pasal 164 HIR, 284 Rbg ada lima jenis alat bukti dalam perkara perdata, yaitu:
1. Surat
2. Saksi
3. Persangkaan
4. Pengakuan
5. Sumpah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar