Profesi arbiter, berdasarkan Pasal 1 angka 7 Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
(“UU 30/1999”), yaitu seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang
bersengketa atau yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau oleh lembaga
arbitrase, untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu yang diserahkan penyelesaiannya
melalui arbitrase. Sementara arbitrase berdasarkan Pasal 1 ayat 1 UU 30/1999
adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang
didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para
pihak yang bersengketa.
Yang dapat diangkat sebagai arbiter harus memenuhi syarat;
a)
cakap
melakukan tindakan hukum;
b)
berumur
paling rendah 35 tahun;
c)
tidak
mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua
dengan salah satu pihak bersengketa;
d)
tidak
mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain atas putusan arbitrase;
dan
e)
memiliki
pengalaman serta menguasai secara aktif di bidangnya paling sedikit 15 tahun.
Selain itu, hakim, jaksa, panitera dan pejabat peradilan
lainnya tidak dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter dengan alasan agar
terjamin adanya obyektivitas dalam pemeriksaan serta pemberian putusan oleh
arbiter atau majelis arbitrase. Selain persyaratan diatas, Susanti Adi Nugroho
dalam bukunya Penyelesaian Sengketa Arbitrase dan Penerapan Hukumnya menyatakan
bahwa syarat penting lainnya yang harus dimiliki arbiter, yaitu :
a)
Para
arbiter yang telah dipilih memiliki keahlian dalam suatu atau beberapa bidang,
seperti bidang perbankan, asuransi, konstruksi, dan sebagainya, dan didukung
oleh pengalaman yang cukup lama serta mempunyai nama yang bersih dan integritas
yang tinggi;
b)
Ia
harus independen dan menunjukkan sikap tidak memihak, terbuka maupun tertutup
(berarti ia tidak mewakili atau harus membela pihak yang memilihnya);
c)
Harus
menyampaikan kepada para pihak dan institusi di mana ia terdaftar agar setiap
fakta dan keadaan yang mungkin akan menimbulkan keragu-raguan atas independensi
dan ketidakberpihakannya yang mungkin timbul di dalam ucapan maupun pikiran
para pihak yang bersengketa;
d)
Terikat
untuk menerapkan tata cara secara pantas menghargai dan menghormati prinsip
perlakuan yang tidak memihak dan hak-hak para pihak untuk didengar;
e)
Menyelesaikan
dan memberi putusan dalam waktu sesingkat-singkatnya sesuai waktu yang telah ditetapkan;
f)
Memelihara
kerahasiaan para pihak juga setelah dikeluarkan keputusannya;
g)
Selama
pemeriksaan, ia berhak memperoleh kerjasama yang jujur dan terbuka dari para
pihak;
h)
Ia
tidak bisa dituntut karena isi putusannya, kecuali terbukti memihak atau tidak
independen.
Arbiter pun dapat berperan aktif sebagaimana tercermin dalam Pasal
49 ayat (1) UU 30/1999 yang menerangkan bahwa atas perintah arbiter atau
majelis arbitrase atau atas permintaan para pihak dapat dipanggil seorang saksi
atau lebih atau seorang saksi ahli atau lebih, untuk didengar keterangannya. Masih
bersumber dari buku yang sama, perlu diketahui bahwa umumnya proses arbitrase
dipimpin oleh seorang arbiter, tetapi tidak tertutup kemungkinan akan adanya
panel arbiter yang terdiri dari 3 orang. Jumlah orang yang menjadi arbiter
ditentukan dari beberapa faktor:
·
Jumlah
yang dipersengketakan;
·
Kompleksitas
perkara;
·
Nasionalitas
dari para pihak;
·
Kebiasaan
dagang yang relevan atau profesi yang terlibat dalam sengketa;
·
Ketersediaan
arbiter yang layak;
·
Tingkat
urgensi dari kasus yang bersangkutan.
Penunjukan arbiter dilakukan melalui perjanjian dan tercermin dalam
Pasal 17 ayat (1) UU 30/1999, yaitu: Dengan ditunjuknya seorang arbiter atau
beberapa arbiter oleh para pihak secara tertulis dan diterimanya penunjukan
tersebut oleh seorang arbiter atau beberapa arbiter secara tertulis, maka
antara pihak yang menunjuk dan arbiter yang menerima penunjukan terjadi suatu perjanjian
perdata. Penunjukan ini mengakibatkan arbiter atau para arbiter akan memberikan
putusannya secara jujur, adil, dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dan
para pihak akan menerima putusannya secara final dan mengikat, seperti yang
diperjanjikan bersama.
Di sisi lain, Pasal 73 UU 30/1999 menyebutkan berakhirnya
tugas arbiter karena:
1)
putusan
mengenai sengketa telah diambil;
2)
jangka
waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian arbitrase atau sesudah
diperpanjang oleh para pihak telah lampau; atau
3)
para
pihak sepakat untuk menarik kembali penunjukan arbiter.
Dari berbagai penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa arbiter
memiliki peran untuk menjalankan prosedur atau tata cara penyelesaian sengketa
melalui arbitrase sebagaimana secara spesifik diatur dalam Pasal 27 – Pasal 48 UU
30/1999.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar