Kamis, 19 Desember 2019

Arbiter


Profesi arbiter, berdasarkan Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (“UU 30/1999”), yaitu seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa atau yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau oleh lembaga arbitrase, untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase. Sementara arbitrase berdasarkan Pasal 1 ayat 1 UU 30/1999 adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
 Yang dapat diangkat sebagai arbiter harus memenuhi syarat;
a)      cakap melakukan tindakan hukum; 
b)      berumur paling rendah 35 tahun;
c)      tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak bersengketa;
d)      tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain atas putusan arbitrase; dan
e)      memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif di bidangnya paling sedikit 15 tahun.
 Selain itu, hakim, jaksa, panitera dan pejabat peradilan lainnya tidak dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter dengan alasan agar terjamin adanya obyektivitas dalam pemeriksaan serta pemberian putusan oleh arbiter atau majelis arbitrase. Selain persyaratan diatas, Susanti Adi Nugroho dalam bukunya Penyelesaian Sengketa Arbitrase dan Penerapan Hukumnya menyatakan bahwa syarat penting lainnya yang harus dimiliki arbiter, yaitu :
a)      Para arbiter yang telah dipilih memiliki keahlian dalam suatu atau beberapa bidang, seperti bidang perbankan, asuransi, konstruksi, dan sebagainya, dan didukung oleh pengalaman yang cukup lama serta mempunyai nama yang bersih dan integritas yang tinggi;
b)      Ia harus independen dan menunjukkan sikap tidak memihak, terbuka maupun tertutup (berarti ia tidak mewakili atau harus membela pihak yang memilihnya);
c)      Harus menyampaikan kepada para pihak dan institusi di mana ia terdaftar agar setiap fakta dan keadaan yang mungkin akan menimbulkan keragu-raguan atas independensi dan ketidakberpihakannya yang mungkin timbul di dalam ucapan maupun pikiran para pihak yang bersengketa;
d)      Terikat untuk menerapkan tata cara secara pantas menghargai dan menghormati prinsip perlakuan yang tidak memihak dan hak-hak para pihak untuk didengar;
e)      Menyelesaikan dan memberi putusan dalam waktu sesingkat-singkatnya sesuai waktu yang telah ditetapkan;
f)       Memelihara kerahasiaan para pihak juga setelah dikeluarkan keputusannya;
g)      Selama pemeriksaan, ia berhak memperoleh kerjasama yang jujur dan terbuka dari para pihak;
h)      Ia tidak bisa dituntut karena isi putusannya, kecuali terbukti memihak atau tidak independen.
 Arbiter pun dapat berperan aktif sebagaimana tercermin dalam Pasal 49 ayat (1) UU 30/1999 yang menerangkan bahwa atas perintah arbiter atau majelis arbitrase atau atas permintaan para pihak dapat dipanggil seorang saksi atau lebih atau seorang saksi ahli atau lebih, untuk didengar keterangannya. Masih bersumber dari buku yang sama, perlu diketahui bahwa umumnya proses arbitrase dipimpin oleh seorang arbiter, tetapi tidak tertutup kemungkinan akan adanya panel arbiter yang terdiri dari 3 orang. Jumlah orang yang menjadi arbiter ditentukan dari beberapa faktor:
·         Jumlah yang dipersengketakan;
·         Kompleksitas perkara;
·         Nasionalitas dari para pihak;
·         Kebiasaan dagang yang relevan atau profesi yang terlibat dalam sengketa;
·         Ketersediaan arbiter yang layak;
·         Tingkat urgensi dari kasus yang bersangkutan. 
Penunjukan arbiter dilakukan melalui perjanjian dan tercermin dalam Pasal 17 ayat (1) UU 30/1999, yaitu: Dengan ditunjuknya seorang arbiter atau beberapa arbiter oleh para pihak secara tertulis dan diterimanya penunjukan tersebut oleh seorang arbiter atau beberapa arbiter secara tertulis, maka antara pihak yang menunjuk dan arbiter yang menerima penunjukan terjadi suatu perjanjian perdata. Penunjukan ini mengakibatkan arbiter atau para arbiter akan memberikan putusannya secara jujur, adil, dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dan para pihak akan menerima putusannya secara final dan mengikat, seperti yang diperjanjikan bersama.
 Di sisi lain, Pasal 73 UU 30/1999 menyebutkan berakhirnya tugas arbiter karena:
1)      putusan mengenai sengketa telah diambil;
2)      jangka waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian arbitrase atau sesudah diperpanjang oleh para pihak telah lampau; atau
3)      para pihak sepakat untuk menarik kembali penunjukan arbiter.
Dari berbagai penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa arbiter memiliki peran untuk menjalankan prosedur atau tata cara penyelesaian sengketa melalui arbitrase sebagaimana secara spesifik diatur dalam Pasal 27 – Pasal 48 UU 30/1999.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar