Minggu, 27 Oktober 2019

Cara Pembuatan Surat Gugatan


dalam Pasal 8 nomor 3 Reglement Op de Burgerlijke Rechts Vordering (“RV”). Menurut ketentuan tersebut gugatan pada pokoknya harus memuat:
a.     Identitas para pihak
Yang dimaksud dengan identitas ialah ciri dari penggugat dan tergugat yaitu, nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, agama dan tempat tinggal, kewarganegaraan (kalau perlu). Pihak-pihak yang ada sangkut pautnya dengan persoalan harus disebutkan dengan jelas mengenai kapasitas dan kedudukannya apakah sebagai penggugat, tergugat, pelawan, terlawan, pemohon dan termohon;
b.     Alasan-alasan gugatan (fundamentum petendi atau posita) yang terdiri dari dua bagian:
1)     Bagian yang menguraikan kejadian atau peristiwanya (fetelijkegronden);
2)     Bagian yang menguraikan tentang dasar hukumnya (rechtgronden); 
c.      Tuntutan (onderwerp van den eis met een duidelijke ed bepaalde conclusie) atau petitum:
1)     Tuntutan pokok atau tuntutan primer yang merupakan tuntutan sebenarnya atau apa yang diminta oleh penggugat sebagaimana yang dijelaskan dalam posita;
2)     Tuntutan tambahan, bukan tuntutan pokok yang langsung berhubungan dengan pokok perkara yang merupakan tuntutan pelengkap daripada tuntutan pokok, tuntutan tambahan berwujud:
        i. Tuntutan agar tergugat dihukum untuk membayar biaya perkara;
       ii. Tuntutan uitvoerbaar bij voorraad yaitu tuntutan agar putusan dapat dilaksanakan lebih dulu meskipun ada perlawanan, banding dan kasasi. Di dalam praktik, permohonan uitvoerbaar bij voorraad sering dikabulkan, namun demikian Mahkamah Agung menginstruksikan agar hakim jangan secara mudah mengabulkan (permohonan tersebut, editor);
Catatan editor: Mengenai poin ini lihat juga Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 Tahun 1975 perihal Uitvoerbaar bij voorraad tanggal 1 Desember 1975, editor);
      iii. Tuntutan agar tergugat dihukum untuk membayar bunga (moratair) apabila tuntutan yang dimintakan oleh penggugat berupa sejumlah uang tertentu;
         iv. Tuntutan agar tergugat dihukum untuk membayar uang paksa (dwangsom), apabila hukuman itu tidak berupa pembayaran sejumlah uang selama ia tidak memenuhi isi putusan.
          v. Dalam hal putusan cerai sering disebut juga tuntutan nafkah bagi istri (Pasal 59 ayat [2], Pasal 62, Pasal 65 Huwelijks Ordonantie voor Christen Indonesiers, S. 1933 No. 74, S. 1936 No. 607 [HOCI] atau Ordonansi Perkawinan Kristen, Pasal 213, Pasal 229 KUHPerdata/Burgerlijk Wetboek) atau pembagian harta (Pasal 66 HOCI, Pasal 232 KUHPerdata).
3)    Tuntutan subsider atau pengganti
Tuntutan ini diajukan dalam rangka mengantisipasi apabila tuntutan pokok dan tambahan tidak diterima oleh hakim. Biasanya tuntutan ini berbunyi “Ex Aequo Et Bono” yang artinya hakim mengadili menurut keadilan yang benar atau mohon putusan seadil-adilnya.

SUMBER RUJUKAN :
·         Praktek Hukum Acara Perdata di Pengadilan Negeri (Fauzie Yusuf Hasibuan)
·           Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar