A.
Pengertian Subyek Hukum
Dalam dunia hukum perkataan orang (persoon) berarti pembawa hak,
yaitu sesuatu yang mempunyai hak dan kewajiban dan disebut subyek hukum. Boleh
dikatakan tiap manusia warganegara ataupun orang asing dengan tak memandang
agama atau kebudayaannyaadalah subyek hukum.sebagai subyek hukum, sebagai
pembawa hak, manusia mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiabn untuk melakukan
sesuatu tindakan hukum, ia dapat mengadakan persetujuan-persetujuan, menikah,
membuat wasiat dan sebagainya.
Berlakunya manusia itu sebagai pembawa hak, mulai dari saat ia
dilahirkan dan berakhir pada saat ia meninggal dunia, malah seorang anak yang
masih dalam kandungan ibunya dapat dianggap sebagai pembawa hak (dianggap telah
lahir) jika kepentingannya memerlukan (untuk menjadi ahli waris). Walaupun
menurut hukum, setiap orang tiada terkecuali dapat memiliki hak-hak akan tetapi
dalam hukum tidaklah semua orang diperbolehkan bertindak sendiri di dalam
melaksanakan hak-haknya itu.
B. Macam-Macam Subyek Hukum
1. Manusia
Manusia adalah pengertian biologis ialah gejala dalam alam, gela
biologika yaitu makhluk hidup yang mempunyai pancaindera dan mempunyai budaya.
Sedangkan orang adalah pengertian yuridis ialah gejala dalam hidup
bermasyarakat. Dalam hukum yang menjadi pusat perhatian adalah orang.
Menurut
hukummodern seperti hukum yang berlaku sekarang di Indonesia, setiap manusia
diakui sebagai manusia pribadi. Artinya diakui sebagai orang atau person.
Karena itu,setiap manusia diakui sebagai subyek hukum (rechtpersoonlijkheid)
yaitu pendukung hak dan kewajiban.
Hak dan kewajiban
perdata tidak bergantungkepada agama, golongan,kelamin, umur, warganegara
ataupu orang asing. Demikian pula hak dan kewajiban perdata tidak bergantung
pula pada kaya atau miskin, kedudukan tinggi atau rendah dalam masyarakat,
penguasa (pejabat) ataupun rakyat biasa, semuanya sama.
Manusia sebagai
pendukung hak dan kewajiban mulai sejak lahir dan baru berakhir apabila mati
atau meninggal dunia. Pengecualian mulainya mendukung hak dan kewajiban dalam
BW disebut pada Pasal 2 yang menentukan sebagai berikut :
(1) “Anak yangada
dalam kandungan seorang perempuan dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana
juga kepentingan si anak menghendakinya”.
(2) “Mati seaktu
dilahirkan, dianggaplah ia tidak pernah ada “
Ketentuan yang
termuat dalam Pasal 2 BW di atas ini sering disebut “rechtsfictie”.
Ketentuan ini sangat penting dalam hal warisan misalnya.
Dalam pasal 638 BW
ditentukan bahwa seseorang hanya dapat menjadi ahli waris kalu ia telah ada
pada saat pewaris meninggal dunia. Ini berarti bahwa seseorang hanya dapat
menjadi ahli waris kalua ia hidup sebagai manusia biasa pada saat pewaris
meninggal dunia. Akan tetapi dengan adanya pasal 2 BW, seorang anak yang masih dalam kandungan ibunya
sudah dianggap seolah-olah sudah dilahirkan, manakala anggapan ini menjadi
keuntungan si anak. Tapi kalau anak dalam kandungan itu kemudian dilahirkan
mati, maka ia dianggap sebagai tidak pernah telah ada. Artinya kalau anak
(bayi) itu lahir hidup, meskipun hanya sedetik dan ini dapat ditentukan, maka
ia ketika dalam kandungan pun ia sudah merupakan orang yakni pendukung hak.
Berakhirnya
seseorang sebagai pendukung hak dan kewajiban dalam perdata adalah apabila ia
meninggal dunia. Artinya selama seseorang masih hidup selama itu pula ia
mempunyai kewenangan berhak. Pasal 3 BW menyatakan: “Tiada suatu hukumanpun
mengakibatkan kematian perdata, atau kehilangan segala hak perdata”
Akan tetapi ada
beberapa faktor yang mempengaruhi kewenangan berhak seseorang yang sifatnya
membatasi kewenangan berhak tersebut adalah:
1. Kewarganegaraan: misalnya dalam pasal 21 ayat (1) UUPA
disebutkan bahwa hanya warga negara Indonesia yang dapat mmempunyai hakmilik.
2. Tempat Tinggal: misalnya dalam Pasal 3 Peraturan
Pemerintah No.24 tahun 1960 dan Pasal 1
Peraturan Pemerintah No.41 Tahnun 1964 (Tambahan Pasal 3a s.d 3e) jo Pasal 10
ayat (2) UUPA disebutkan larangan pemilikan tanah pertanian oleh orang yang
bertempat tinggal di luar kecamatan tempat letak tanahnya.
3. Kedudukan atau Jabatan:
misalnya hakim dan pejabat hukum lainnya tidak boleh memperoleh barang-barang
yang masih dalam perkara.
4. Tingkahlaku atau Perbuatan: misalnya dakam pasal 49 dan
53 UU No.1 Tahun 1974 disebutkan, bahwa kekuasaan orang tua dan wali dapat
dicabut dengan keputusan pengadilan dalam hal ia sangat melalaikan kewajibannya
sebagai orangtua/wali atau berkelakuan buruk sekali.
2. Ketidakcakapan
Setiap orang tiada
terkecualai sebagai pendukung hak dan kewajiban atau subyek hukum
(rechtspersoonlijkheid). Orang-orang yang menurut undang-undang dinyatakan
tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum adalah :
1. Orang-orang yang belum dewasa, yaitu anak-anak yangbelum
mencapai umur 18 tahun atau belum pernahmelangsungkan perkawinan (Pasal 1330 BW
jo Pasal 47 UU No,1 Tahun 1974)
2. Orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan, yaitu
orang-orang dewasa tapi dalam keadaan dungu, gila, mata gelap, pemboros (Pasal
1330 BW jo Pasal 433 BW)
3. Orang-orang yang dilarang undang-undang untuk melakukan
perbuatan-perbuatan hukum tertentu, misalnya orang yang dinyatakan pailit
(Pasal 1330 BW jo UU Kepailitan)
Jadi orang yang
cakap untuk melakukan perbuatan hukum adalah orang yang dewasa dan sehat akal
fikirannya serta tidak dilarang oleh suatu undang-undang untuk melakukan
perbuatan-perbuatan hukum tertentu.
Orang-orang yang
belumdewasa dan orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan dalam melakukan
perbuatan-perbuatan hukum diwakili oleh orang tuanya, walinya, atau
pengampunya. Sedangkan penyelesaian hutang-piutang orang-orang yang dinyatakan
pailit dilakukan oleh Balai Harta Peninggalan.
Setiap orang adalah subyek hukum yakni pendukung hak
dan kewaiban tetapi tidak setiap orang cakap untuk melakukan perbuatan hukum.
Orang yang cakap untuk melakukan perbuatan hukum tidak selalu berwenang untuk
melakukan perbuatan hukum
3. Pendewasaan
Dalam sistem hukum
perdata (BW), mereka yang belum dewasa tetapi harus melakukan
perbuatan-perbuatanhukum seorang dewasa, terdapata lembaga hukum pendewasaan
yang diatur pada Pasal-pasal 419 s.d 432. Pendewasaan merupakan suatu cara
untuk meniadakan keadaan belum dewasa terhadapotang-orang yang belum mencapai umur
21 tahun. Jadi, maksudnya adalah memberikan kedudukan hukum (penuh atau
terbatas) sebagai orang dewasa kepada orang-orang yang belum dewasa.
Pendewasaan penuh hanya diberikan kepada orang-orang yang telah mencapai
umur 18 tahun, yang diberikan dengan Keputusan Pengadilan Negeri.
Akan tetapi,
lembaga pendewasaan ini sekarang tidak relevan lagi dengan adanya Undang-undang
No.1 Tahun1974 (Pasal 47 ayat (1) dan Pasal 50 ayat (2) yang menentukan bahwa
seseorang yangtelah mencapai umur 18 tahun adalah dewasa. Ketentuan
Undang-undang perkawinan yang menetapkan umur seseorang dewasa 18 tahun
itudikuatkan oleh Mahkamah Agung dalam putusannya tanggal 2 Desember 1976
No.477 K/Sip/76 dalam perkara perdata.
4. Tempat Tinggal (Domisili)
Seseorang yang mempunyai suatu haka tau kewajiban serta dengan
siapa seseorang mengadakan hubungan hukum maka dalam hukum perdata ditentukan
pula tentang tempat tinggal. Setiap orang mempunyai tempat tinggal (domisili)
dimana ia berediaman pokok, tetapi bagi orang yang tidak mempunyai tempat
kediaman tertentu. Maka tempat tinggal dianggap dimana ia sungguh-sungguh
berada.
Tempat tinggal
dapat dibedakan menjadi dua yaitu:
1. Tempat tinggal yang sesungguhnya, di tempat tinggal
sesungguhnya inilah biasanya seseorang melakukan hak-haknya dan memenuhi
kewajiban perdata pada umumnya. Tempat tinggal yang sesungguhnya ini dapat
dibedakan menjadi dua macam:
a. Tempat tinggal
yang bebas atau berdiri sendiri tidakterikat/bergantung kepada hubungannya
dengan pihak lain.
b. Tempat tinggal
yang tidak bebas, yakni tempat tinggalyang terikat/bergantung kepada
hubungannya dengan pihak lain. Misalnya, tempat tinggal anak yang belum dewasa
dirumah orang tuanya/walinya; tempat tinggal orang yang berada dibawah
pengampuan di rumah pengampunya; buruh mempunyai tempat tinggal di rumah
majikannya jika mereka tinggal bersama majikannya.
2. Tempat tinggal yang dipilih, dalam suatu sengketa di muka
pengadilan, kedua belah pihak yang berpekara atau salah satu dari mereka dapat
memilih tempat tinggaln lain daripada tempattinggal mereka yang sebenarnya.
Pemilihan tempat tinggal ini dilakukan dengan suatu akta. Diadakannya tempat
tinggal yang dipilih ini dimaksudkan untuk memudahkan pihak lain maupun untuk
kepentingan pihakyang memilih tempat tinggal tersebut.
Kemudian rumah
kematian, yang sering terpakai dalam undang-undang tidak lain seperti
domisili penghabisan dari orang yang meninggal. Pengertian ini adalah penting
untuk menentukan beberapa hal seperti: pengadilan mana yang berwenang untuk mengadili
tentang warisan yang dipersengketakan; pengadilan mana yang berwenang untuk
mengadili tuntutan si berpiutang dan
sebagainya. Sedangkan bagi badan hukum biasanya tidak dikatan dengan istilah
“tempat tinggal kematian” melainkan “tempat kedudukan”. Secara yuridis tempat
dan kedudukan suatu badan hukum ialah tempat dimana pengurusnya menetap.
5. Ketidakhadiraan
Bilaman seseorang untuk waktu yang pendek maupun umtuk waktu yang
lama meninggalkan tempat tinggalnya, tetapi sebelum pergi ia memberikan kuasa
kepada orang lain untuk mewakili dirinya dan mengurus harta kekayaannya, maka
keadaan tidak di tempat orang itu tidak menimbulkan persoalan. Akan tetapi,
bilamana orang yang pergi meninggalkan tempat tinggal tersebut sebelumnya tidak
memberikan kuasa apapun kepada orang lain untuk ewakili dirinya maupun untuk mengurus harta
kekayaanya dan segala kepentingannya, maka keadaan tidak di tempatnya orang itu
menimbulkan pesoalan, siapa yang mewakili dirinya danbagaimana mengurus harta
kekayaannya.
Meskipun orang
yang meninggalkan tempat tinggal itutidak kehilangan statusnya sebagai person
atau sebagai subyek hukum, tetapi keadaan tidak di tempat orang tersebut
menimbulkan ketidakpastian hukum, sehingga oleh karena itu pembentuk
undang-undangperlu mengaturnya. Ketentuan menganai keadaan tidak hadir termuat
dalam BW Buku I Pasal 463 s.d 495 dan dalam stb. 1946No. 137 jo Biblad V dan
Stb. 1949 No. 451.
Undan-undang
mengatur keadaan tidak di tempat atas tiga masa atau tingkatan, yaitu masa
persiapan(Pasal 463 s.d 466) masa yang berhubungan dengan pernyataan bahwa,
orang yang meninggalkan tempat itu mungkin meninggal dunia (Pasal 467 s.d 483)
dan masa pewarisan secara definitive (Pasal 484). Dalam masa persiapan tidak
perlu keraguan apakah orang yang meninggaklkan tempat tinggal itu masih hidup
atau sudah meninggal dunia, tetapi ada alasan yang mendesak guna mengurus
seluruh atau sebagian harta kekayaannya atau guna mengadakan seseorang wakil
baginya. Pada masa ini Pengadilan Negeri tempat tinggal orang yang keadaan
tidak hadir itu menunjuk Balai Harta Peninggalan untuk menjadi pengurus harta
kekayaan dan kepentingan orang yang tidak ditempat tidak banyak, maka untuk
mengurus harta kekayaan dan mewakili kepentingannya itu, Pengadilan Negeri
dapat memerintahkan seseorang atau lebih dari keluarga sedarahnya atau kepada
istri atau suaminya.
Masa yang
berhubungan dengan pernyataan bahwa orang yang meninggalkan tempat itu mungkn
meninggal dunia, yaitu setelah lewat 5 tahun sejak keberangkatannya dari tempat
tinggalnya atau 5 tahun semenjak diperolehnya kabar terakhir yang membuktikan
bahwa pada waktu itu masih hidup, setelah diadakan pemanggilan secara umum
dengan memuat di surat kabar sebanyak tiga kali. Hak-hakdan kewajiban orang
yang tidak di tempat beralih kepada ahli warisnya, tetapi ini hanya bersifat
sementara dan dengan pembatasan-pembatasan. Sedangkan masa pewarisan secara
definitif adalah masa dimana persangkaan bahwa orang yang tidak di tempat itu
telah meninggal dunia semakin kuat yaitu setelah lampau 30 tahun,sejak
hariernyataan kemungkinan meninggal dunia atau setelah lampau 100tahun
terhitung sejak hari lahir.
Sumber Rujukan :
- Seluk Beluk dan Asas Asas Hukum Perdata (Ridwan Syahrani)
- Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum di Indonesia (C S T Kansil)
- Bunga Rampai Ilmu Hukum (Prof. Subekti S.H.)
- Pengantar Tata Hukum Indonesia (Sudiman Kartohadiprdjo)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar