Jumat, 18 Oktober 2019

Pengertian Subjek Hukum Perdata dan Macam Macamnya


A.    Pengertian Subyek Hukum
            Dalam dunia hukum perkataan orang (persoon) berarti pembawa hak, yaitu sesuatu yang mempunyai hak dan kewajiban dan disebut subyek hukum. Boleh dikatakan tiap manusia warganegara ataupun orang asing dengan tak memandang agama atau kebudayaannyaadalah subyek hukum.sebagai subyek hukum, sebagai pembawa hak, manusia mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiabn untuk melakukan sesuatu tindakan hukum, ia dapat mengadakan persetujuan-persetujuan, menikah, membuat wasiat dan sebagainya.
            Berlakunya manusia itu sebagai pembawa hak, mulai dari saat ia dilahirkan dan berakhir pada saat ia meninggal dunia, malah seorang anak yang masih dalam kandungan ibunya dapat dianggap sebagai pembawa hak (dianggap telah lahir) jika kepentingannya memerlukan (untuk menjadi ahli waris). Walaupun menurut hukum, setiap orang tiada terkecuali dapat memiliki hak-hak akan tetapi dalam hukum tidaklah semua orang diperbolehkan bertindak sendiri di dalam melaksanakan hak-haknya itu.
B.  Macam-Macam Subyek Hukum
            1.  Manusia
            Manusia adalah pengertian biologis ialah gejala dalam alam, gela biologika yaitu makhluk hidup yang mempunyai pancaindera dan mempunyai budaya. Sedangkan orang adalah pengertian yuridis ialah gejala dalam hidup bermasyarakat. Dalam hukum yang menjadi pusat perhatian adalah orang.
            Menurut hukummodern seperti hukum yang berlaku sekarang di Indonesia, setiap manusia diakui sebagai manusia pribadi. Artinya diakui sebagai orang atau person. Karena itu,setiap manusia diakui sebagai subyek hukum (rechtpersoonlijkheid) yaitu pendukung hak dan kewajiban.
            Hak dan kewajiban perdata tidak bergantungkepada agama, golongan,kelamin, umur, warganegara ataupu orang asing. Demikian pula hak dan kewajiban perdata tidak bergantung pula pada kaya atau miskin, kedudukan tinggi atau rendah dalam masyarakat, penguasa (pejabat) ataupun rakyat biasa, semuanya sama.
            Manusia sebagai pendukung hak dan kewajiban mulai sejak lahir dan baru berakhir apabila mati atau meninggal dunia. Pengecualian mulainya mendukung hak dan kewajiban dalam BW disebut pada Pasal 2 yang menentukan sebagai berikut :
            (1) “Anak yangada dalam kandungan seorang perempuan dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana juga kepentingan si anak menghendakinya”.
            (2) “Mati seaktu dilahirkan, dianggaplah ia tidak pernah ada “
            Ketentuan yang termuat dalam Pasal 2 BW di atas ini sering disebut “rechtsfictie”. Ketentuan ini sangat penting dalam hal warisan misalnya.
            Dalam pasal 638 BW ditentukan bahwa seseorang hanya dapat menjadi ahli waris kalu ia telah ada pada saat pewaris meninggal dunia. Ini berarti bahwa seseorang hanya dapat menjadi ahli waris kalua ia hidup sebagai manusia biasa pada saat pewaris meninggal dunia. Akan tetapi dengan adanya pasal 2 BW,  seorang anak yang masih dalam kandungan ibunya sudah dianggap seolah-olah sudah dilahirkan, manakala anggapan ini menjadi keuntungan si anak. Tapi kalau anak dalam kandungan itu kemudian dilahirkan mati, maka ia dianggap sebagai tidak pernah telah ada. Artinya kalau anak (bayi) itu lahir hidup, meskipun hanya sedetik dan ini dapat ditentukan, maka ia ketika dalam kandungan pun ia sudah merupakan orang yakni pendukung hak.
            Berakhirnya seseorang sebagai pendukung hak dan kewajiban dalam perdata adalah apabila ia meninggal dunia. Artinya selama seseorang masih hidup selama itu pula ia mempunyai kewenangan berhak. Pasal 3 BW menyatakan: “Tiada suatu hukumanpun mengakibatkan kematian perdata, atau kehilangan segala hak perdata”
            Akan tetapi ada beberapa faktor yang mempengaruhi kewenangan berhak seseorang yang sifatnya membatasi kewenangan berhak tersebut adalah:
1. Kewarganegaraan: misalnya dalam pasal 21 ayat (1) UUPA disebutkan bahwa hanya warga negara Indonesia yang dapat mmempunyai hakmilik.
2. Tempat Tinggal: misalnya dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah No.24 tahun 1960  dan Pasal 1 Peraturan Pemerintah No.41 Tahnun 1964 (Tambahan Pasal 3a s.d 3e) jo Pasal 10 ayat (2) UUPA disebutkan larangan pemilikan tanah pertanian oleh orang yang bertempat tinggal di luar kecamatan tempat letak tanahnya.
3.  Kedudukan atau Jabatan: misalnya hakim dan pejabat hukum lainnya tidak boleh memperoleh barang-barang yang masih dalam perkara.
4. Tingkahlaku atau Perbuatan: misalnya dakam pasal 49 dan 53 UU No.1 Tahun 1974 disebutkan, bahwa kekuasaan orang tua dan wali dapat dicabut dengan keputusan pengadilan dalam hal ia sangat melalaikan kewajibannya sebagai orangtua/wali atau berkelakuan buruk sekali.

            2.  Ketidakcakapan
            Setiap orang tiada terkecualai sebagai pendukung hak dan kewajiban atau subyek hukum (rechtspersoonlijkheid). Orang-orang yang menurut undang-undang dinyatakan tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum adalah :
1. Orang-orang yang belum dewasa, yaitu anak-anak yangbelum mencapai umur 18 tahun atau belum pernahmelangsungkan perkawinan (Pasal 1330 BW jo Pasal 47 UU No,1 Tahun 1974)
2. Orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan, yaitu orang-orang dewasa tapi dalam keadaan dungu, gila, mata gelap, pemboros (Pasal 1330 BW jo Pasal 433 BW)
3. Orang-orang yang dilarang undang-undang untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum tertentu, misalnya orang yang dinyatakan pailit (Pasal 1330 BW jo UU Kepailitan)
            Jadi orang yang cakap untuk melakukan perbuatan hukum adalah orang yang dewasa dan sehat akal fikirannya serta tidak dilarang oleh suatu undang-undang untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum tertentu.
            Orang-orang yang belumdewasa dan orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum diwakili oleh orang tuanya, walinya, atau pengampunya. Sedangkan penyelesaian hutang-piutang orang-orang yang dinyatakan pailit dilakukan oleh Balai Harta Peninggalan.
            Setiap  orang adalah subyek hukum yakni pendukung hak dan kewaiban tetapi tidak setiap orang cakap untuk melakukan perbuatan hukum. Orang yang cakap untuk melakukan perbuatan hukum tidak selalu berwenang untuk melakukan perbuatan hukum
            3.  Pendewasaan
            Dalam sistem hukum perdata (BW), mereka yang belum dewasa tetapi harus melakukan perbuatan-perbuatanhukum seorang dewasa, terdapata lembaga hukum pendewasaan yang diatur pada Pasal-pasal 419 s.d 432. Pendewasaan merupakan suatu cara untuk meniadakan keadaan belum dewasa terhadapotang-orang yang belum mencapai umur 21 tahun. Jadi, maksudnya adalah memberikan kedudukan hukum (penuh atau terbatas) sebagai orang dewasa kepada orang-orang yang belum dewasa. Pendewasaan penuh hanya diberikan kepada orang-orang yang telah mencapai umur 18 tahun, yang diberikan dengan Keputusan Pengadilan Negeri.
            Akan tetapi, lembaga pendewasaan ini sekarang tidak relevan lagi dengan adanya Undang-undang No.1 Tahun1974 (Pasal 47 ayat (1) dan Pasal 50 ayat (2) yang menentukan bahwa seseorang yangtelah mencapai umur 18 tahun adalah dewasa. Ketentuan Undang-undang perkawinan yang menetapkan umur seseorang dewasa 18 tahun itudikuatkan oleh Mahkamah Agung dalam putusannya tanggal 2 Desember 1976 No.477 K/Sip/76 dalam perkara perdata.
            4. Tempat Tinggal (Domisili)
            Seseorang yang mempunyai suatu haka tau kewajiban serta dengan siapa seseorang mengadakan hubungan hukum maka dalam hukum perdata ditentukan pula tentang tempat tinggal. Setiap orang mempunyai tempat tinggal (domisili) dimana ia berediaman pokok, tetapi bagi orang yang tidak mempunyai tempat kediaman tertentu. Maka tempat tinggal dianggap dimana ia sungguh-sungguh berada.
            Tempat tinggal dapat dibedakan menjadi dua yaitu:
1. Tempat tinggal yang sesungguhnya, di tempat tinggal sesungguhnya inilah biasanya seseorang melakukan hak-haknya dan memenuhi kewajiban perdata pada umumnya. Tempat tinggal yang sesungguhnya ini dapat dibedakan menjadi dua macam:
            a. Tempat tinggal yang bebas atau berdiri sendiri tidakterikat/bergantung kepada hubungannya dengan pihak lain.
            b. Tempat tinggal yang tidak bebas, yakni tempat tinggalyang terikat/bergantung kepada hubungannya dengan pihak lain. Misalnya, tempat tinggal anak yang belum dewasa dirumah orang tuanya/walinya; tempat tinggal orang yang berada dibawah pengampuan di rumah pengampunya; buruh mempunyai tempat tinggal di rumah majikannya jika mereka tinggal bersama majikannya.
2. Tempat tinggal yang dipilih, dalam suatu sengketa di muka pengadilan, kedua belah pihak yang berpekara atau salah satu dari mereka dapat memilih tempat tinggaln lain daripada tempattinggal mereka yang sebenarnya. Pemilihan tempat tinggal ini dilakukan dengan suatu akta. Diadakannya tempat tinggal yang dipilih ini dimaksudkan untuk memudahkan pihak lain maupun untuk kepentingan pihakyang memilih tempat tinggal tersebut.
            Kemudian rumah kematian, yang sering terpakai dalam undang-undang tidak lain seperti domisili penghabisan dari orang yang meninggal. Pengertian ini adalah penting untuk menentukan beberapa hal seperti: pengadilan mana yang berwenang untuk mengadili tentang warisan yang dipersengketakan; pengadilan mana yang berwenang untuk mengadili tuntutan si berpiutang  dan sebagainya. Sedangkan bagi badan hukum biasanya tidak dikatan dengan istilah “tempat tinggal kematian” melainkan “tempat kedudukan”. Secara yuridis tempat dan kedudukan suatu badan hukum ialah tempat dimana pengurusnya menetap.
            5.  Ketidakhadiraan
            Bilaman seseorang untuk waktu yang pendek maupun umtuk waktu yang lama meninggalkan tempat tinggalnya, tetapi sebelum pergi ia memberikan kuasa kepada orang lain untuk mewakili dirinya dan mengurus harta kekayaannya, maka keadaan tidak di tempat orang itu tidak menimbulkan persoalan. Akan tetapi, bilamana orang yang pergi meninggalkan tempat tinggal tersebut sebelumnya tidak memberikan kuasa apapun kepada orang lain untuk ewakili  dirinya maupun untuk mengurus harta kekayaanya dan segala kepentingannya, maka keadaan tidak di tempatnya orang itu menimbulkan pesoalan, siapa yang mewakili dirinya danbagaimana mengurus harta kekayaannya.
            Meskipun orang yang meninggalkan tempat tinggal itutidak kehilangan statusnya sebagai person atau sebagai subyek hukum, tetapi keadaan tidak di tempat orang tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum, sehingga oleh karena itu pembentuk undang-undangperlu mengaturnya. Ketentuan menganai keadaan tidak hadir termuat dalam BW Buku I Pasal 463 s.d 495 dan dalam stb. 1946No. 137 jo Biblad V dan Stb. 1949 No. 451.
            Undan-undang mengatur keadaan tidak di tempat atas tiga masa atau tingkatan, yaitu masa persiapan(Pasal 463 s.d 466) masa yang berhubungan dengan pernyataan bahwa, orang yang meninggalkan tempat itu mungkin meninggal dunia (Pasal 467 s.d 483) dan masa pewarisan secara definitive (Pasal 484). Dalam masa persiapan tidak perlu keraguan apakah orang yang meninggaklkan tempat tinggal itu masih hidup atau sudah meninggal dunia, tetapi ada alasan yang mendesak guna mengurus seluruh atau sebagian harta kekayaannya atau guna mengadakan seseorang wakil baginya. Pada masa ini Pengadilan Negeri tempat tinggal orang yang keadaan tidak hadir itu menunjuk Balai Harta Peninggalan untuk menjadi pengurus harta kekayaan dan kepentingan orang yang tidak ditempat tidak banyak, maka untuk mengurus harta kekayaan dan mewakili kepentingannya itu, Pengadilan Negeri dapat memerintahkan seseorang atau lebih dari keluarga sedarahnya atau kepada istri atau suaminya.
            Masa yang berhubungan dengan pernyataan bahwa orang yang meninggalkan tempat itu mungkn meninggal dunia, yaitu setelah lewat 5 tahun sejak keberangkatannya dari tempat tinggalnya atau 5 tahun semenjak diperolehnya kabar terakhir yang membuktikan bahwa pada waktu itu masih hidup, setelah diadakan pemanggilan secara umum dengan memuat di surat kabar sebanyak tiga kali. Hak-hakdan kewajiban orang yang tidak di tempat beralih kepada ahli warisnya, tetapi ini hanya bersifat sementara dan dengan pembatasan-pembatasan. Sedangkan masa pewarisan secara definitif adalah masa dimana persangkaan bahwa orang yang tidak di tempat itu telah meninggal dunia semakin kuat yaitu setelah lampau 30 tahun,sejak hariernyataan kemungkinan meninggal dunia atau setelah lampau 100tahun terhitung sejak hari lahir.

 Sumber Rujukan : 
  • Seluk Beluk dan Asas Asas Hukum Perdata (Ridwan Syahrani)
  • Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum di Indonesia (C S T Kansil)
  • Bunga Rampai Ilmu Hukum (Prof. Subekti S.H.)
  • Pengantar Tata Hukum Indonesia (Sudiman Kartohadiprdjo)  


Tidak ada komentar:

Posting Komentar