Minggu, 27 Oktober 2019

Tahap Mediasi


v  Tahap Pra Mediasi
Pada Hari Sidang Pertama yang dihadiri kedua belah pihak, Hakim mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi.
1.        Hakim Menunda proses persidangan perkara untuk memberikan kesempatan proses mediasi paling lama 40 Hari Kerja.
2.        Hakim menjelaskan prosedur mediasi kepada para pihak yang bersengketa. Para pihak memilih Mediator dari daftar nama yang telah tersedia, pada hari Sidang Pertama atau paling lama 2 hari kerja berikutnya.
3.        Apabila dalam jangka waktu tersebut dalam point 4 para pihak tidak dapat bersepakat memilih Mediator yang dikehendaki.
4.       Ketua Majelis Hakim segera menunjuk Hakim bukan pemeriksa pokok perkara untuk menjalankan fungsi Mediator.
v  Tahap Proses Mediasi.
Dalam waktu paling lama 5 hari kerja setelah para pihak menunjuk Mediator yang disepakati atau setelah ditunjuk oleh Ketua Majelis Hakim, masing – masing pihak dapat menyerahkan resume perkara kepada Hakim Mediator yang ditunjuk.
1.        Proses Mediasi berlangsung paling lama 40 hari kerja sejak Mediator dipilih oleh para pihak atau ditunjuk oleh Majelis Hakim.
2.        Mediator wajib memperseiapkan jadwal pertemuan Mediasi kepada para pihak untuk disepakati.
3.        Apabila dianggap perlu Mediator dapat melakukan “Kaukus”. Mediator berkewajiban menyatakan mediasi telah Gagal jika salah satu pihak atau para pihak atau Kuasa Hukumnya telah 2 kali berturut – turut tidak menghadiri pertemuan Mediasi sesuai jadwal yang telah disepakati tanpa alasan setelah dipanggil secara patut.
v  Mediasi Mencapai Kesepakatan
Jika mediasi menghasilkan kesepakatan perdamaian maka wajib dirumuskan secara tertulis dan ditandatangani oleh para pihak dan Mediator.
Jika mediasi diwakili oleh Kuasa Hukum para maka pihak wajib menyatakan secara tertulis persetujuan atau kesepakatan yang dicapai.
Para pihak wajib menghadap kembali kepada Hakim pada hari Sidang yang telah ditentukan untuk memberi tahukan kesepakatan perdamaian tersebut.
Para pihak dapat mengajukan kesepakatan perdamaian kepada Hakim untuk dikuatkan dalam bentuk “Akta Perdamaian”.

Apabila para pihak tidak menghendaki kesepakatan perdamaian dikuatkan dalam bentuk Akta perdamaian maka harus memuat clausula pencabutan Gugatan dan atau clausula yang menyatakan perkara telah selesai.
v  Mediasi Tidak Mencapai Kesepakatan
Jika Mediasi tidak menghasilkan kesepakatan, Mediator wajib menyatakan secara tertulis bahwa proses mediasi telah gagal dan memberitahukan kegagalan tersebut kepada Hakim.
Pada tiap tahapan pemeriksaan perkara Hakim pemeriksa perkara tetap berwenang untuk mengusahakan perdamaian hingga sebelum pengucapan Putusan.

Jika mediasi gagal, pernyataan dan pengakuan para pihak dalam proses mediasi tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses persidangan.
v  Mediasi Tidak Berhasil
Jika tidak ada kesepakatan damai antara kedua belah pihak, maka selanjutnya adalah siding pembacaan gugatan dan beberapa proses siding lainnya yang telah dibuat penulis pada gambar dibawah ini.



Cara Pembuatan Surat Gugatan


dalam Pasal 8 nomor 3 Reglement Op de Burgerlijke Rechts Vordering (“RV”). Menurut ketentuan tersebut gugatan pada pokoknya harus memuat:
a.     Identitas para pihak
Yang dimaksud dengan identitas ialah ciri dari penggugat dan tergugat yaitu, nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, agama dan tempat tinggal, kewarganegaraan (kalau perlu). Pihak-pihak yang ada sangkut pautnya dengan persoalan harus disebutkan dengan jelas mengenai kapasitas dan kedudukannya apakah sebagai penggugat, tergugat, pelawan, terlawan, pemohon dan termohon;
b.     Alasan-alasan gugatan (fundamentum petendi atau posita) yang terdiri dari dua bagian:
1)     Bagian yang menguraikan kejadian atau peristiwanya (fetelijkegronden);
2)     Bagian yang menguraikan tentang dasar hukumnya (rechtgronden); 
c.      Tuntutan (onderwerp van den eis met een duidelijke ed bepaalde conclusie) atau petitum:
1)     Tuntutan pokok atau tuntutan primer yang merupakan tuntutan sebenarnya atau apa yang diminta oleh penggugat sebagaimana yang dijelaskan dalam posita;
2)     Tuntutan tambahan, bukan tuntutan pokok yang langsung berhubungan dengan pokok perkara yang merupakan tuntutan pelengkap daripada tuntutan pokok, tuntutan tambahan berwujud:
        i. Tuntutan agar tergugat dihukum untuk membayar biaya perkara;
       ii. Tuntutan uitvoerbaar bij voorraad yaitu tuntutan agar putusan dapat dilaksanakan lebih dulu meskipun ada perlawanan, banding dan kasasi. Di dalam praktik, permohonan uitvoerbaar bij voorraad sering dikabulkan, namun demikian Mahkamah Agung menginstruksikan agar hakim jangan secara mudah mengabulkan (permohonan tersebut, editor);
Catatan editor: Mengenai poin ini lihat juga Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 Tahun 1975 perihal Uitvoerbaar bij voorraad tanggal 1 Desember 1975, editor);
      iii. Tuntutan agar tergugat dihukum untuk membayar bunga (moratair) apabila tuntutan yang dimintakan oleh penggugat berupa sejumlah uang tertentu;
         iv. Tuntutan agar tergugat dihukum untuk membayar uang paksa (dwangsom), apabila hukuman itu tidak berupa pembayaran sejumlah uang selama ia tidak memenuhi isi putusan.
          v. Dalam hal putusan cerai sering disebut juga tuntutan nafkah bagi istri (Pasal 59 ayat [2], Pasal 62, Pasal 65 Huwelijks Ordonantie voor Christen Indonesiers, S. 1933 No. 74, S. 1936 No. 607 [HOCI] atau Ordonansi Perkawinan Kristen, Pasal 213, Pasal 229 KUHPerdata/Burgerlijk Wetboek) atau pembagian harta (Pasal 66 HOCI, Pasal 232 KUHPerdata).
3)    Tuntutan subsider atau pengganti
Tuntutan ini diajukan dalam rangka mengantisipasi apabila tuntutan pokok dan tambahan tidak diterima oleh hakim. Biasanya tuntutan ini berbunyi “Ex Aequo Et Bono” yang artinya hakim mengadili menurut keadilan yang benar atau mohon putusan seadil-adilnya.

SUMBER RUJUKAN :
·         Praktek Hukum Acara Perdata di Pengadilan Negeri (Fauzie Yusuf Hasibuan)
·           Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23)


Jumat, 25 Oktober 2019

Surat Kuasa

Surat kuasa adalah surat yang menerangkan telah terjadinya pemberian kuasa dari satu pihak tertentu kepada pihak lainnya yang bertindak sebagai wakil dalam mengurus kepentingan pemberi kuasa, bila pemberi kuasa berhalangan hadir. Masalah surat kuasa bukanlah masalah yang remeh. Apabila seseorang salah membuat surat kuasa, bisa saja gugatan dinyatakan tidak dapat diterima atau NO (niet ont vankelijk verklaard) dan hal ini dapat mengakibatkan kerugian waktu dan biaya bagi penggugat. Waktu dan biaya terbuang sia-sia tanpa memperoleh penyelesaian positif.
1.      Pembagian surat kuasa menurut sifat dan lainnya
·         Surat kuasa umum yakni surat kuasa yang menerangkan bahwa pemberian kuasa tersebut umum atau meliputi berbagai jenis hal.
·         Surat kuasa khusus yakni surat kuasa yang secara tegas menerangkan bahwa pemberian kuasa hanya berlaku khusus untuk hal hal tertentu saja misalnya, berlaku hanya untuk perpanjangan surat surat tanah.
2.      Surat kuasa bila dipandang dari sudut cara pembuatannya
·         Surat kuasa di bawah tangan, yaitu surat kuasa yang dibuat untuk menjadi bahan bukti dan ditandatangani oleh kedua belah pihak.
·         Surat kuasa autentik, yaitu surat kuasa dibuat oleh notaris, para pihak tinggal menandatangani (di hadapan notaris yang bersangkutan)
Syarat-syarat pemberian kuasa:
a.       Memberikan hak dan kewenangan untuk bertindak atas nama pemberi kuasa atas nama pihak ketiga;
b.      Surat kuasa langsung mengikat pada diri pemberi kuasa sepanjang tidak melampaui batas kewenangan;
c.       Pemberi kuasa sebagai pihak materiil dan penerima kuasa sebagai pihak formal sehingga akibat hukumnya pemberi kuasa terikat terhadap perbuatan hukum penerima kuasa;
Selain itu dampak yang akan timbul apabila surat kuasa tidak memenuhi syarat-syarat formal adalah;
a.       Surat gugatan tidak sah, apabila pihak yang mengajukan dan menandatangani gugatan adalah kuasa berasarkan surat kuasa tersebut,
b.       Segala proses pemeriksaan tidak sah, dengan alasan pemeriksaan dihadiri oleh kuasa yang tidak didukung oleh surat kuasa yang memenuhi syarat.
Untuk mewakili seseorang penggugat atau tergugat di depan persidangan dalam perkara perdata, maka seseorang harus mempunyai surat kuasa yang diperlihatkan kepada hakim di persidangan, atau diserahkan kepada hakim, atau dapat juga melalui penunjukan kuasa secara lisan di persidangan. Dal praktik, penggunaan kuasa lisan ini jarang dilakukan. Penggunaan kuasa di depan persidangan itu telah diamanatkan dalam peraturan Menteri kehakiman No, 1 Tahun 1985 jo. Keputusan Menteri kehakiman tanggal 7 Oktober 1965 No. JP.14.2.11. Kuasa yang dapat mewakili tersebut dapat berupa kuasa dari keluarga atau kuasa dari seorang yang telah memiliki izin sebagai advokat sesuai UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
Surat kuasa dan kuasa itu tidak hanya terbatas pada saat berperkara di pengadilan tingkat pertama. Para pihak yang berperkara pada tingakt banding dan kasasi pun juka memakai kuasa hukum harus melampirkan surat kuasanya. Begitu pula bagi pegawai negeri atau siapa saja baik itu jaksa, pejabat yang ditunjuk oleh dinas instansinya dapat mewakili negeri dalam perkara perdata sepanjang memperlihatkansurat kuasa. Kuasa hukum wakil negara itu telah diatur di dalam pasal 123 (2) HIR dan Stbl. Tahun 1922 No. 522.

SUMBER RUJUKAN :
·         Hukum Acara Perdata Di Indonesia (Prof. Dr. H. zainal Asikin, S.H., SU)
·         Hukum Acara Perdata (Dr. Kamarusdiana, M.H)

Jalannya Sidang Perkara Perdata


            Pada hari sidang yang telah ditetapkan, hakim ketua sidang yang didampingi oleh panitera, membuka sidang dan menyatakan sidang terbuka untuk umum. Sifat terbuka untuk umum ini merupakan syarat mutlak (pasal 19 (1) dan 20 UU No. 4 Tahun 2004 jo. Pasal 13 (1) UU No.48 Tahun 2009). Terhadap terbukanya sidang untuk umum ada pembatasannya yaitu apabila undang undang menentukan lain atau berdasarkan alasan-alasan penting menurut hakim yang dimuat dalam berita acara atas perintahnya. Dalam hal ini, maka pemeriksaan dilakukan dengan pintu tertutup. Pemeriksaan perkara harus berlangsung dengan hadirnya kedua belah pihak. Kalau satu pihak saja yang hadir, maka tidak boleh dimulai dengan pemeriksaan perkara, tetapi sidang harus di tunda. Keterangan kedua belah pihak harus didengar bersama, kedua belah pihak harus diberlakukan sama.
            Berikut ini tata urutan mengenai sidang perkara perdata di pengadilan negeri :
1. Sidang dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum;
2. Para pihak (penggugat dan tergugat) diperintahkan memasuki ruang sidang;
3. Para pihak diperiksa identitasnya (surat kuasanya), demikian pula diperiksa surat ijin praktik dari organisasi advokat;
4. Apabila kedua belah pihak lengkap maka diberi kesempatan untuk menyelesaikan dengan perkara secara damai;
5. Ditawarkan apakah akan menggunakan mediator dari lingkungan PN atau dari luar (lihat PERMA RI No.1 Tahun 2008);
6. Apabila tidak tercapai kesepakatan damai maka sidang dilanjutkan dengan pembacaan surat gugat oleh penggugat/kuasanya;
7. Apabila perdamaian berhasil maka dibacakan dalam persidangan dalam bentuk akta perdamaian yang bertitel DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YME;
8. Apabila tidak ada perubahan acara selanjutnya jawaban dari tergugat; (jawaban berisi eksepsi, bantahan, permohonan putusan provisionil, gugatan rekonvensi);
9. Apabila ada gugatan rekonvensi tergugat juga berposisi sebagai penggugat rekonvensi;
10. Replik dari penggugat, apabila digugat rekonvensi maka ia berkedudukan sebagai tergugat rekonvensi;
11. Pada saat surat menyurat (jawab jinawab) ada kemungkinan ada gugatan intervensi (voeging, vrijwaring, toesenkomst);
12. Sebelum pembuktian ada kemungkinan muncul putusan sela (putusan provisionil, putusan tentang dikabulkannya eksepsi absolut, atau ada gugat intervensi);
13. Pembuktian
14. Dimulai dari penggugat berupa surat bukti dan saksi;
15. Dilanjutkan dari tergugat berupa surat bukti dan saksi;
16. Apabila menyangkut tanah dilakukan pemeriksaan setempat;
17. Kesimpulan
18. Musyawarah oleh Majlis Hakim (bersifat rahasia);
19. Pembacaan Putusan;
20. Isi putusan: a. Gugatan dikabulkan, b. Gugatan ditolak, c. Gugatan tidak dapat diterima;
21. Atas putusan ini para pihak diberitahu hak-haknya apakah akan menerima, pikir-pikir atau akan banding. Apabila pikir-pikir maka diberi waktu selama 14 hari;
22. Dalam hal ada pihak yang tidak hadir maka diberitahu terlebih dahulu dan dalam waktu 14 hari setelah pemberitahuan diberi hak untuk menentukan sikap. Apabila waktu 14 hari tidak menentukan sikap maka dianggap menerima putusan.

SUMBER RUJUKAN :
v  Hukum Acara Perdata Di Indonesia (Prof. Dr. H. zainal Asikin, S.H., SU)


Senin, 21 Oktober 2019

Pencabutan Gugatan


Gugatan dapat dicabut secara sepihak jika perkara belum diperiksa. Tetapi jika perkara sudah bdiperiksa dan tergugat telah memberi jawabannya, maka pencabutan perkara harus mendapat persetujuan di dasari tergugat (pasal 271, 272 RV). Dalam praktiknya, meskipun penggugat telah mengajukan gugatan ke pengadilan, makatidak menutup kemungkinan penggugat menarik atau mencabut gugatannya karena ada alasan tertentu. Pencabutan gugatan ini  merupakan salah satu permasalahan hukum yang timbul dalam proses beperkara di depan pengadilan. Pihak penggugat mencabut gugatan sewaktu atau selama proses pemeriksaan berlangsung.
Alasan pencabutan bervariasi, bisa disebabkan gugatan yang diajukan tidak sempurna atau dasar dalil gugatan tidak kuat atau barangkali dalil gugatan bertentangan tentang hukum. Sama halnya dengan pengajuan gugatan, pencabutan gugatan juga merupakan hak penggugat. Di satu sisi, hukum memberikan hak kepadanya untuk mengajukan gugatan apabila hak dan kepentingannya dirugikan. Di sisis lain hukum juga memberikan hak kepadanya untuk mencabut gugatan apabila dianggapnya hak dan kepentingannya tidak dirugikan.
Sistem pencabutan gugatan yang dianggap memberi keseimbangan kepada penggugat dan tergugat, berpedoman pada cara penerapan sebagai berikut:
Pencabutan mutlak hak penggugat selama pemeriksaan belum berlangsung (127 RV). Penggugat dapat mencabut perkaranya dengan syarat asalkan hal itu dilakukan sebelum tergugat menyampaikan jawaban.
            Cara pencabutan menurut pasal 272 RV, penggugat berhak melakukan pencabutan sendiri gugatannya karena secara hukum, penggugat sendiri yang paling mengetahui hak dan kepentingannya dalam kasus perkara yang bersangkutan. Pencabutan dapat juga dilakukan oleh kuasa yang ditunjuk oleh penggugat berdasarkan surat kuasa khusus yang digariskan dalam pasal 123 HIR yang di dalamnya dengan tegas diberi penugasan untuk mencabut atau dapat juga dituangkan dalam surat kuasa tersendiri yang secara khusus memberi penegasan untuk melakukan pencabutan gugatan.
            Apabila ada pengajuan pencabutan gugatan di sidang pengadilan, proses yang harus ditempuh oleh majelis hakim untuk menyelesaikannya sebagai berikut:
1.      Majelis menanyakan pendapat tergugat apakah setuju atau menolak pencabutan gugatan tersebut.
2.      Apabila tergugat menolak pencabutan, maka majelis hakim harus tunduk atas penolakan tersebut, majelis hakim harus menyampaikan pernyataan dalam sidang bahwa pemeriksaan harus dilanjutkan dan memerintahkan panitera untuk mencatat penolakan tersebutdalam berita acara.
3.      Apabila tergugat menyetujui pencabutan, maka majelis hakim menerbitkan putusan/penetapan pencabutan. Dengan demikian maka putusan tersebut bersifat final dalm arti sengketa antara penggugat dan tergugat berakhir.
Pasal 272 RV mengatur tentang akibat hukum pencabutan gugatan. Pencabutan berakibat berakhirnya perkara. Pencabutan gugatan bersifat final mengakhiri perkara. Dan, bukan tidak menjadi masalah apabila pencabutan tersebut dilakukan sebelum proses pemeriksaan. Walaupun pencabutan tersebut bercorak ex parte karena dilakukan tanpa persetujuan tergugat, pencabutan tersebut tetap bersifat final.
Sementara, pasal 124 HIR masih tetap memberi hak kepada penggugat untuk mengajukan kembali gugatan yang digugurkan sebagai perkara baru, dengan syarat dibebani membayar biaya perkara.
Kapan pencabutan gugatan dilakukan?
1.      Pencabutan gugatan dapat dilakukan sebelum pemeriksaan perkara oleh hakim dalam hal ini tergugat belum memberikan jawaban.
2.      Dilakukan dalam proses pemeriksaan perkara dalam hal ini apabila tergugat sudah memberikan jawaban (maka harus dengan syarat disetujui oleh pihak penggugat).
Dengan kata lain, jika gugatan dicabut sebelum tergugat memberikan jawaban, maka penggugat masih boleh mengajukan gugatannya kembali dan jika tergugat sudah memberikan jawaban penggugat  tidak boleh lagi mengajukan gugatan karena penggugat sudah dianggap lepas haknya.

Sumber Rujukan :
n  Hukum Acara Perdata Di Indonesia (Prof. Dr. H. zainal Asikin, S.H., SU)
n  Hukum Acara Perdata (Dr. Elfrida R Gultom, S.H., MH)

Minggu, 20 Oktober 2019

Pengertian Perbedaan Gugatan dan Permohonan


A.    Gugatan
Gugatan adalah suatu tuntutan seseorang atau beberapa orang selaku penggugat yang berkaitan dengan permasalahan perdata yang yang mengandung sengketa antara dua pihak atau lebih yang diajukan kepada ketua pengadilan neferi di mana salah satu pihak sebagai penggugat untuk menggugat pihak lain sebagai tergugat. Perkataan contentiosa, berasal dari Bahasa latin yang berarti penuh semangat bertanding atau berpolemik. Itu sebabnya penyelesaian perkara yang mengandung sengketa, disebut yuridiksi contentiosa, yaitu kewenangan peradilan yang memeriksa perkara yang berkenaan dengan masalah persengketaan antara pihak yang bersengketa.
Menurut rancangan Undang Undang Hukum Acara Perdata pada pasal 1 ayat 2, gugatan adalah tuntutan hak yang mengandung sengketa dan diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan putusan. Menurut Sudikno Mertokusumo, tuntutan hak adalah tindakan yang bertujuan memperoleh perlindungan yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah main hakim sendirin (eigenrichting).
Jadi gugatan adalah suatu tuntutan yang disampaikan ketua pengadilan negeri yang berwenang oleh seseorang mengenai suatu hal akibat adanya persengketaan dengan pihak lainnya yang kemudian mengharuskan hakim memeriksa tuntutan tersebut menurut tata cara tertentu yang kemudian melahirkan keputusan terhadap gugatan tersebut.
B.     Permohonan
Permohonan diajukan dengan surat permohonan yang ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya yang sah dan ditujukan kepada ketua pengadilan negeri di tempat tinggal pemohon. Pemohon yang tidak dapat membaca dan menulis dapat mengajukan permohonannya secara lisan di hadapan ketua pengadilan negeri, yang akan menyuruh mencatat permohonannyatersebut (Pasal 120 HIR, Pasal 144 RBg.). Permohonan disampaikan kepada ketua pengadilan negeri, kemudian didaftarkan dalam buku register dan diberi nomor unit setelah pemohon membayar persekot biaya perkara yang besarnya sudah ditemukan oleh pengadilan negeri (Pasal 121 HIR, Pasal 145 RBg.). Perkara permohonan termasuk dalam pengertian yuridiksi voluntair  dan terhadap perkarapermohonan yang diajukan itu, hakim akan memberikan suatu penetapan.
Sementara dalam permohonan tidak ada sengketa. Permohonan yang banyak diajukan di muka pengadilan negeri adalah mengenai permohonan pengangkatan anak, wali, pengampu, perbaikan akata catatan sipil, dan lain sebagainya.
C.     Perbedaan Gugatan dan Permohonan
Sistem gugatan disebut juga “stelsel gugatan”. Maksudnya bagaimana cara memasukkan permintaan pemeriksaan perkara kepada pengadilan agar permintaan dapat diterima pihak pengadilan. Tidak sembarangan cara memasukkan permintaan pemeriksaan perkara. Harus dituruti tata cara yang ditentukan undang undang. Dalam sejarah peradilan Indonesia, dikenal 2 sistem gugatan. Yang satu disebut sistem dagvaarding dan yang satu lagi disebut sistem permohonan.
1.      Dagvaarding
Sistem pemasukan perkara secara dagvaarding diatur dalam pasal 1 RV (Reglement of de Rechtsvordering Staatblaad 1847 – 52 Jo. 1849 – 61 dalam Bahasa Indonesia dikenal sebagai Reglement acara perdata). Dalam stelsel dagvaarding, gugatan diberitahu oleh seorang juru sita atas nama penggugat kepada tergugat. Juru sita langsung menyampaikan panggilan agar tergugat datang menghadap hakim untuk diperiksa perkaranya dalam suatu proses perdata.
2.      Permohonan
Sistem penyampaian gugatan dengan cara mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan yang berisi “permintaan” agar pengadilan memenggil penggugat serta pihak yang digugat untuk datang menghadap di sidang pengadilan untuk memeriksa sengketa yang diperkarakan penggugat terhadap tergugat, sebagaimana yang diuraikan dalam surat gugatan.

Sumber Rujukan :
n  Hukum Acara Perdata Di Indonesia (Prof. Dr. H. zainal Asikin, S.H., SU)
n  Hukum Acara Perdata (Dr. Elfrida R Gultom, S.H., MH)


Jumat, 18 Oktober 2019

Asas Asas Hukum Acara Perdata


Yang dimaksud dengan asas hukum acara perdata adalah suatu pedoman atau dasar yang harus dilaksanakan oleh hakim dalam mengadili suatu perkara di persidangan pengadilan, Asas-asas yang ada dalam hukum positif umumnya dijadikan sebagai pedoman atau dasa oleh hakim dalam melaksanakan tugasnya mengadili para pihak yang sedang berperkara di persidangan pengadilan, yang mana asas-asas hukum ini mengatur tentang proses jalannya persidangan yang harus atau wajib dilaksanakan oleh hakim dalam persidangan pengadilan. Apabila hakim dalam melaksanakan tugasnya tidak berpedoman dan atau menyimpang dari asas-asas hukum yang ada sesuai dengan peraturan perundang-undangan, maka keputusannya dapat berakibat cacat hukum dan batal demi hukum. Asas asas hukum acara perdata antara lain:
1.     Asas Hakim Bersifat Pasif
Maksud dari asas ini adalah adanya tuntutan hak dari penggugat kepada tergugat, timbulnya inisiatif sepenuhnya ada pada pihak penggugat.
Hakim bersifat pasif dalam pengertian yang luas adalah bahwa suatu perkara diajukan ke pengadilan atau tidak untuk penyelesaiannya sepenuhnya tergantung inisiatif dari para pihak yang sedang berperkara bukan dari hakim yang akan memeriksa karena sebelum perkara diajukan ke pengadilan hakim bersifat pasif, sedangkan kalau suatu perkara teleh diajukan oleh para pihak ke persidangan pengadilan maka hakim harus bersifat aktif untuk mengadili perkara tersebut seadil-adilnya tanpa pandang bulu.
Hakim tidak diperbolehkan atau dilarang memberikan putusan yang tidak di tuntut oleh oleh para pihak yang berperkara karena akan berakibat putusannya cacat hukum dan dapat batal demi hukum (pasal 178 HIR jo. Pasal 189 RBg).
2. Hakim Bersifat Menungggu
Maksudnya ialah hakim bersifat menunggu datangnya tuntutan hak diajukan kepadanya, kalau tidak ada tuntutan hak atau penuntutan maka tidak ada hakim. Jadi apakah aka nada proses atau tidak, inisiatif untuk mengajukan tuntutan hak diserahkan sepenuhnya kepada yang berkepentingan (Pasal 118 HIR, 142 RBg.).
3. Asas Sifat Terbukanya Persidangan
Asas sifat terbukanya persidangan adalah hakim dalam mengadili suatu perkara yang diajukan oleh pengggugat persidangannya terbuka untuk umum.
Dalam praktik persidangan yang terbuka untuk umum persidangannya dilaksanakan dalam ruangan yang pintunya terbuka dan setiap orang tanpa terkecuali dapat menyaksikan jalannya persidangan, sedangkan persidangan yang tertup untuk umum pelaksanaannya dalam ruangan yang pintunya di tutup dan tidak semua orang bias masuk terkecuali para pihak yang berperkara dan para saksi.
Dalam perkara yang terbuka untuk umum maka harus terbuka untuk umum karena jika ternyata hakim dalam menangani suatu perkara tidak terbuka untuk umum, keputusan yang dibuat oleh hakim tidak sah dan atau cacat hukum serta dapat batal demi hukum (pasal 13 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman).
Namun dalam hal sidang terbuka untuk umum terdapat pengecualiannya yaitu khusus untuk perkara-perkara perceraian persidangannya tertutup untuk umum karena menyangkut rahasia keluarga.
4. Asas Mendengar Kedua Belah Pihak
Asas mendengar kedua belah pihak (audiatur et altera pars atau eines mannes rede ist keines mannes rede) adalah hakim dalam menangani suatu perkara terhadap para pihak yang sedang berperkara harus mendengarkan keterangan tentang terjadinya peristiwa hukum dari kedua belah pihak.
Dalam memberikan keputusan hakim tidak boleh hanya berdasarkan keterangan salah satu pihak saja terkecuali jika tergugat setelah dipanggil dengan patut dua (2) kali berturut-turut tidak hadir (Purge) dan tidak memerintahkan wakil atau kuasa hukumnya serta tidak mempergunakan haknya untuk didengar keterangannya, hakim dapat memeberikan putusan verstek. Tetapi jika setelah hakim memberikan putusan verstek da nada perlawanan (verzet) dari pihak tergugat maka hakim juga harus mendengar keterangan pihak tergugat dan memberikan putusan yang adil (pasal 121 ayat 2, 132a HIR jo. Pasal 145 ayat 2, 157 RBg. jo. Pasal 47 Rv. jo pasal 4 UU No. 14 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Jika dalam keterangan-keterangan yang diberikan oleh para pihak belum mendapatkan gambaran tentang duduk perkara yang sebenarnya maka hakim karena jabatannya mempunyai hak untuk memerintahkan para pihak yang berperkara menghadirkan para saksi yang mendengar, mengalami, dan menyaksikan langsung terjadinya peristiwa hukum.
5. Asas Bebas Dari Campur Tangan Para Pihak Di Luar Pengadilan
Maksud dari asas ini adalah Hakim pengadilan dalam memberikan keputusan terhadap para pihak yang berperkara harus berdasarkan keyakinannya dan tidak boleh terpengaruh dengan pihak lain diluar pengadilan.
Hakim wajib menjaga kemandiriannya dalam hal memberikan keputusan tanpa terpengaruh oleh pihak lain di laur pengadilan sekalipun pengaruh itu dari pejabat negara bahkan presiden sekalipun tetap hakim tidak boleh terpengaruh. ( lihat pasal 1 angka 1, pasal 3 ayat 1 dan 2 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman).
Hakim dalam memberikan keputusan harus berdasarkan bukti-bukti dan keyakinannya tanpa terpengaruh oleh pihak lain di luar pengadilan.
6. Asas Sederhana, Cepat Dan Biaya Ringan
Maksud dari asas ini adalah Hakim dalam mengadili suatu perkara harus berusaha semaksimal mungkin untuk menyelesaikan perkara dalam tempo yang tidak terlalu lama sehingga tidak memakan biaya yang banyak.
Sederhana diartikan hakim dalam pelaksanaan mengadili harus menggunakan kalimat atau bahasa yang mudah dipahami dan dimengerti oleh para pihak yang berperkara. Cepat diartikan hakim dalam memeriksa para pihak yang berperkara setelah ada bukti-bikti yang cukup dan akurat segera memberikan keputusan dan waktunya tidak diulur-ulur atau penundaan persidangan.
7. Asas Putusan Harus Disertai Alasan-Alasan
Asas ini maksudnya adalah putusan hakim dalam suatu perkara harus menggunakan dalil-dalil atau dasar hukum positif yang ada. Hal ini dimaksudkan untuk pertanggungjawaban dari sebuah keputusan yang telah dikeluarkan oleh hakim, sehingga pihak lawan juga akan kesulitan mencari celah atau kelemahan dari putusan tersebut.
Hakim dalam menerapkan dalil-dalil atau hukum harus sesuai dengan sengketa yang dihadapi oleh para pihak jika tidak maka keputusan yang dikeluarkan oleh hakim tersebut berakibat cacat hukum dan dapat dibatalkan, diubah dan diperbaiki di tingkat banding. Dan agar supaya keputusan yang dikeluarkan apabila diajukan upaya hukum lain oleh pihak lawan tidak berakibat dibatalkan, diperbaiki, dan diubah di tingkat banding, kasasi, maupun peninjauan kembali.
8.  Asas Putusan Harus Dilaksanakan Setelah 14 (Empat Belas) Hari Lewat
Maksud dari asas ini adalah setiap keputusan pengadilan hanya dapat dilaksanakan (eksekusi) setelah tenggang waktu 14 (empat belas) hari telah lewat dan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (in kracht van gewijsde) atau tidak ada upaya hukum lain dari pihak yang dikalahkan kecualai dalam putusan Provisionil dan putusan uit voerbaar bij voorraad.
9.  Asas Beracara Dikenakan Biaya
Maksud dari asas beracar dikenakan biaya adalah para pihak yang beracara di pengadilan dikenakan biaya perkara. Biaya perkara pada umumnya berupa biaya pemanggilan, pemberitahuan dan biaya materai. Biaya-biaya tersebut diperlukan oleh pengadilan untuk memperlancar jalannya persidangan. Biaya-biaya tersebut umunya dibebankan kepada pihak yang dikalahkan dalam suatu persidangan.
Jika dalam perkara tersebut ada barang-barang jaminan baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak yang harus di sita oleh panitera pengadilan negeri maka selain biaya-biaya tersebut diatas  masih ada biaya tambahan yaitu biaya sita eksekusi dari eksekusi lelang termasuk didalamnya biaya-biaya pengacara, para saksi, saksi ahli dan juru bahasa (pasal 121 ayat 4, pasal 182, pasal 183 HIR jo. Pasal 145 ayat 4, pasal 192, pasal 193 RBg. jo. Pasal 2 ayat 2, pasal 4 ayat 2 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Biaya-biaya yang harus dibayar di atas terdapat pengecualaian untuk para pihak yang tidak mampu yang telah mengajukan permohonan ke pengadilan dengan beracara di pengadilan tanpa biaya (prodeo) dan tidak dilawan oleh pihak lawan serta dikabulkan oleh hakim. Jika dalam persidangan dikalahkan tidak dikenakan biaya (pasal 237, 238, 239 HIR jo. Pasal 273, 274, 275 RBg).
10. Hakim Harus Mengadili Perkara
Bahwa terhadap setiapperkara yang masuk, hakim tidak boleh menolak untuk mengadili perkara tersebut dengan dalih bahwa hukumnya tidak ada atau kurang jelas. (vide pasal 14 ayat 1 UU No. 14 Tahun 1970).
11. Peradilan Dilakukan dengan Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan (pasal 2 ayat 4 UU No. 48 Tahun 2009)
Sederhana, maksudnya acara jelas, mudah dipahami dan tidak berbelit belit. Makin sedikit dan sederhana formalitas dalam beracara maka semakin baik. Sebaliknya terlalu banyak formalitas atau peraturan akan sulit dipahami dan akan menimbulkan beraneka ragam penafsiran sehingga kurang menjamin adanya kepastian hukum.
Cepat, menunjuk jalannya peradilan yang cepat dan proses penyelesaiannya tidak berlarut larut yang terkadang harus dilanjutkan oleh ahli warisnya.
Biaya ringan, maksudnya biaya yang serendah mungkin sehingga dapat terjangkau oleh masyarakat. Biaya perkara yang tinggi membuat orang enggan beracara di pengadilan.

Apabila hakim dalam melaksanakan tugasnya tidak berpedoman atau menyimpang dari asas-asas hukum yang ada sesuai dengan peraturan perundang-undangan  maka keputusannya dapat berakibat cacat hukum dan dapat batal demi hukum.

SUMBER RUJUKAN:
n  Hukum Acara Perdata Di Indonesia (Prof. Dr. H. zainal Asikin, S.H., SU)
n  Hukum Acara Perdata (Dr. Elfrida R Gultom, S.H., MH)
n  Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik (Sarwono)


Hukum Benda


A.     Pengertian benda dalam hukum
Menurut Pasal 499 KUH Per, benda ialah tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak yang dapat dikuasai oleh hak milik. Adapun, yang dimaksud dengan benda dalam arti ilmu hukum adalah segala sesuatu yang dapat menjadi objek hukum dan barang-barang yang dapat menjadi milik serta hak setiap orang yang dilindungi oleh hukum. Oleh karena itu yang dimaksud dengan benda menurut undang-undang hanyalah segala sesuatu yang dapat dihaki atau yang dapat dimilki orang, maka segala sesuatu yang tidak dapat dimiliki orang bukanlah termasuk pengertian benda menurut BW (Buku II), seperti bulan, bintang, laut, udara, dan lain sebagainya.
            Menurut Prof. Soediman Kartohadiprodjo, yang dimaksudkan dengan benda ialah semua barang yang berwujud dan hak (kecuali hak milik). Menurut Prof. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, pengertian benda pertama-tama ialah barang yang berwujud yang dapat ditangkap dengan pancaindra, tapi barang yang tak berwujud termasuk benda juga. Adapun menurut Prof. Subekti, perkataan benda (zaak) dalam arti luas ialah segala sesuatu yang dapat dihaki oleh orang, dan perkataan benda dalam arti sempit ialah sebagai barang yang dapat terlihat saja. Menurut Prof. L.J. van Apeldoorn, benda dalam arti yuridis ialah sesuatu yang merupakan objek hukum. Hakikat benda (zaak) adalah sesuatu hakikat yang diberikan oleh hukum objektif. Menurut Prof. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, yang diatur dalam Hukum Benda ialah pertama-tama mengatur pengertian dari benda, kemudian pembedaan macam-macam benda, dan selanjutnya bagian yang terbesar mengatur mengenai macam-macam hak kebendaan. Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa yang dimaksud dengan Hukum Benda adalah peraturan-peraturan hukum yang mengatur mengenai hak-hak kebendaan yang sifatnya mutlak.
Jadi, di dalam sistem Hukum Perdata (KUH Per), kata zaak (benda) mempunyai dua arti, yaitu barang yang berwujud dan bagian daripada harta kekayaan. Yang termasuk zaak selain daripada barang yang berwujud, juga beberapa hak tertentu sebagai barang yang tak berwujud. Selain pengertian tersebut, benda (zaak) dapat berarti bermacam-macam, yaitu:
Benda sebagai objek hukum (Pasal 500 KUH Per).
Benda sebagai kepentingan (Pasal 1354 KUH Per).
Benda sebagai kenyataan hukum (Pasal 1263 KUH Per).
Benda sebagai perbuatan hukum (Pasal 1792 KUH Per).

B.      Macam-macam benda
Menurut Prof. Subekti, benda dapat dibagi atas beberapa macam, yaitu:
a.         Benda yang dapat diganti (contoh: uang) dan yang tidak dapat diganti (contoh: seekor kuda).
b.        Benda yang dapat diperdagangkan (praktis tiap barang dapat diperdagangkan) dan yang tidak dapat diperdagangkan atau “di luar perdagangan” (contoh: jalan-jalan dan lapangan umum).
c.         Benda yang dapat dibagi (contoh: beras) dan yang tidak dapat dibagi (contoh: seekor kuda).
d.        Benda yang bergerak (contoh: perabot rumah) dan yang tidak bergerak (contoh: tanah).

Adapun menurut Prof. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, benda dapat dibedakan atas:
a.         Barang-barang yang berwujud (lichamelijk) dan barang-barang yang tidak berwujud (onlichamelijk).
b.        Barang-barang yang bergerak dan barang-barang yang tidak bergerak.
c.         Barang-barang yang dapat dipakai habis (verbruikbaar) dan barang-barang yang tidak dapat dipakai habis (onverbruikbaar).
d.        Barang-barang yang sudah ada (tegenwoordige zaken) dan barang-barang yang masih akan ada (toekomstige zaken). Barang yang akan ada dibedakan:
1.    Barang-barang yang pada suatu saat sama sekali belum ada, misalnya panen yang akan datang.
2.    Barang-barang yang akan ada relatif, yaitu barang-barang yang pada saat itu sudah ada, tetapi bagi orang-orang yang tertentu belum ada, misalnya barang-barang yang sudah dibeli, tetapi belum diserahkan.
e.       Barang-barang yang dalam perdagangan (zaken in de handel) dan barang-barang yang di luar perdagangan (zaken buiten de handel).
f.        Barang-barang yang dapat dibagi dan barang-barang yang tidak dapat dibagi.

Sementara itu, menurut Prof. L.J. van Apeldoorn, benda dapat dibagi atas:
a.       Benda berwujud (lichamelijke zaken), yakni benda yang dapat ditangkap dengan pancaindra.
b.      Benda tidak berwujud (onlichamelijke zaken), yakni hak-hak subjektif.
Menurut sistem Hukum Perdata Barat sebagaimana diatur dalam BW benda dapat dibedakan atas:
a.       Benda tidak bergerak dan benda bergerak
b.      Benda yang musnah dan benda yang tetap ada
c.       Benda yang dapat diganti dan benda yang tidak dapat diganti
d.      Benda yang dapat dibagi dan benda yang tidak dapat dibagi
e.       Benda yang diperdagangkan dan benda yang tidak diperdagangkan.      
            Dari pembagian macam-macam benda yang telah dikemukakan di atas, yang paling penting adalah pembagian benda bergerak dan benda tak bergerak, sebab pembagian ini mempunyai akibat yang sangat penting dalam hukum. Menurut Pasal 504 KUH Per, tiap-tiap kebendaan adalah benda bergerak atau benda tak bergerak.
a.       Benda bergerak adalah benda-benda yang karena sifatnya atau karena penetapan undang-undang dinyatakan sebagai benda bergerak, misalnya kendaraan, surat-surat berharga, dam sebagainya. Dengan demikian, kebendaan bergerak ini sifatnya adalah kebendaan yang dapat berpindah atau dipindahkan (Pasal 509 KUH Per). Menurut Pasal 505 KUH Per, benda bergerak ini dapat dibagi atas benda yang dihabiskan dan benda yang tidak dapat dihabiskan.
b.    Benda tidak bergerak adalah benda-benda yang karena sifatnya, tujuan pemakaiannya atau penetapan undang-undang dinyatakan sebagai benda tak bergerak, misalnya tanah, bangunan, dan sebagainya.
C. Arti penting pembedaan benda
1) Benda Berwujud dan benda tidak berwujud.
Arti penting pembedaan ini ialah terletak pada cara penyerahannya apabila benda itu dipindahtangankan kepada pihak lain, misalnya jual beli, pewarisan, pemberian (hibah). Penyerahan benda berwujud bergerak dilakukan secara nyata dari tangan ke tangan. Penyerahan benda berwujud berupa benda tetap dilakukan dengan balik nama. Penyerahan benda tidak berwujud berupa piutang dilakukan sebagai berikut (pasal 613 KUHPdt) :
a. Piutang atas nama (op naam) dengan cara cessie;
b. Piutang atas tunjuk (aan toonder) dengan cara penyerahan surat daru tangan ke tangan;
c. Piutang atas pengganti (aan order) dengan cara endosemen dan penyerahan suratnya dari tangan ke tangan.
2) Benda Bergerak dan benda tidak bergerak.
Arti penting pembedaan ini terletak pada penguasaan (bezit), penyerahan (levering), daluarsa (verjaring), pembebanan (berzwaring). Mengenai penguasaan (bezit), pada benda bergerak berlangsung asas dalam pasal 1977 KUHPdt yaitu orang yang menguasai benda bergerak dianggap sebagai pemiliknya. Pada benda tidak bergerak asas itu tidak berlaku. Mengenai penyerahan (levering), pada benda bergerak dapat dilakukan penyerahan nyata. Sedangkan pada benda tidak bergerak dilakukan dengan balik nama. Mengenai daluarsa (verjaring), pada benda bergerak tidak dikenal daluarsa, sebab yang mengusai benda bergerak dianggap sebagai pemiliknya. Sedangkan pada benda tidak bergerak dikenal daluarsa :
a. Dalam hal ada alas hak, daluarsa 20 tahun,
b. Dalam hal tidak ada alas hak, daluarsanys 30 tahun, (pasal 1963 KUHPdt).
Mengenai pembebanan (bezwaring), pada benda bergerak dilakukan dengan gadai (pand), sedangkan pada benda tidak bergerak dilakukan dengan hipotik.
3) Benda dipakai habis dan tidak dipakai habis
Arti penting pembedaan ini terletak pada pembatalan perjanjian. Perjanjian yang obyeknya adalah benda pakai habis, apabila dibatalkan mengalami kesulitan dalam pemulihan kepada keadaan semula. Penyelesainnya ialah harus digantikan dengan benda lain yang sejenis dan senilai. (contohnya beras, kayu, makanan).
Perjanjian yang obyeknya benda tidak dipakai habis apabila dibatalkan, maka tidak begitu mengalami kesulitan pada pemulihan ke keadaan semula, karena bendanya masih ada dan dapat diserahkan kembali. Misalnya kendaraan bermotor, perhiasan dan lainnya.
4) benda sudah ada dan benda akan ada
Arti penting pembedaan ini terletak pada pembebanan sebagai jaminan utang atau pada pelaksanaan perjanjian. Benda sudah ada dapat dijadikan jaminan utang dan pelaksanaan perjanjian dapat dipenuhi dengan penyerahan bendanya. Benda akan ada tidak dapat dijadikan jaminan, dan perjanjian yang obyeknya benda akan ada dapat menjadi batal apabila pemenuhannya itu tidak mungkin dilaksanakan sama sekali (pasal 1320 KUHPdt ; unsur ketiga).
5) Benda dalam perdagangan dan luar perdagangan
Arti penting pembedaan ini terletak pada pemindahtanganan karena jual beli atau karena pewarisan. Benda dalam perdagangan dapat diperjualbelikan dengan bebas, dapat diwariskan kepada ahli waris.
Benda luar perdagangan tidak dapat diperjualbelikan dan tidak dapat diwariskan.
Tidak dapat dijualbelikan atau tidak dapat diwariskan itu mungkin karena tujuan yang dilarang undang – undang misalnya obat – bobatan terlarang, yang bertentangan dengan kepentingan umum, dan yang bertentangan dengan kesusilaan.
C.      Perbedaan system hukum benda dan hukum perikatan
      Sistem pengaturan hukum benda itu ialah sistem tertutup. Artinya, orang tidak dapat mengadakan hak-hak kebendaan baru selain yang sudah ditetapkan dalam undang-undang. Jadi, hanya dapat mengadakan hak kebendaan terbatas pada yang sudah ditetapkan dalam undang-undang saja.
Hal ini berlawanan dengan sistem hukum perikatan, di mana hukum perikatan mengenai sistem terbuka. Artinya, orang dapat mengadakan perikatan ataupun perjanjian mengenai apa pun juga, baik yang sudah ada aturannya dalam undang-undang maupun yang belum ada peraturannya sama sekali. Jadi, siapa pun boleh mengadakan suatu perikatan atau perjanjian mengenai apa pun juga. Dengan demikian, hukum perikatan mengenai asas kebebasan berkontrak. Namun demikian, berlakunya asas kebebasan berkontrak ini dibatasi oleh undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.    
Hukum benda bersifat tertutup yang berarti ketentuan ketentuan hukum keberadaan terbatas pada apa yang disebutkan dalam undang undang. Sedangkan sistem hukum perikatan mempunyai sifat terbuka berarti ketentuan ketentuan hukum perikatan dapat diatur oleh pihak yang bersangkutan dengan dibatasi tidak melanggar undang undang yang ada.
SISTEM HUKUM BENDA
a.       Mengatur hubungan hukum antara seseorang dengan benda.
b.       Hak atas benda atau hak kebendaan (zakelijk recht).
c.       Sifatnya absolut (mutlak)
d.       Sistem tertutup
e.       Jumlah hak-hak kebendaan adalah terbatas yakni terbatas hanya pada yang disebut dalam Buku II BW bersifat memaksa (dwingend recht)) tidak dapat dikesampingkan

SISTEM HUKUM PERIKATAN
a.       Mengatur seseorang dengan orang lain
b.      hak terhadap seseorang atau hak perorangan (Persoonlijk recht)
c.       Sifatnya nisbi (relatif)
d.      Sistem terbuka
e.       Kedudukan rangkaian pasal-pasal dalam hukum perikatan hanyalah bersifat mengatur atau hanya sebagai hukum pelengkap saja (aanvullende recht)

SUMBER RUJUKAN : 
  • Hukum Perdata: Hukum Benda (Sri Soedewi Masjchoen Sofwan)
  • Hukum Perdata Indonesia (Simanjuntak)
  • Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata (ridwan syahraini)