Minggu, 03 November 2019

Kompetensi Relatif Acara Perdata


Sementara itu, kompetensi relatif adalah distribusi kekuasaan badan peradilan sejenis untuk memiliki kewenangan menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya. Yaitu kewenangan mengadili perkara dari suatu pengadilan berdasarkan pada daerah hukum. Daerah hukum pengadilan negeri meliputi kabupaten/kota. Artinya setiap badan peradilan berwenang mengadili perkara yang menjadi kekuasaanya berdasarkan wilayah hukum yang berlaku.
 Pasal 118 HIR menetapkan bahwa setiap perkara perdata dimulai dengan pengajuan surat gugatan dan menetapkan pengadilan negeri yang berwenang adalah yang terletak dalam daerah hukum si tergugat bertempat tinggal. Biasanya daerah hukum pengadilan negeri adalah seluruh wilayah suatu kabupaten/kotamadya tertentu.
Pasal 118 ayat (1) HIR menyatakan bahwa "Tuntutan (gugatan) perdata yang pada tingkat pertama termasuk lingkup wewenang pengadilan negeri, harus diajukan dengan surat permintaan (surat gugatan) yang ditandatangan oleh penggugat, atau oleh wakilnya menurut pasal 123, kepada ketua pengadilan negeri di tempat diam si tergugat, atau jika tempat diamnya tidak diketahui, kepada ketua pengadilan negeri di tempat tinggalnya yang sebenarnya". Sumber untuk menentukan tempat kediaman yaitu berdasarkan Kartu Tanda Penduduk, Kartu Keluarga, Surat Pajak dan Anggaran Dasar Perseroan (jika Tergugatnya adalah suatu Perseroan).
Pasal 118 ayat (2) HIR menyatakan bahwa "Jika yang digugat lebih dari seorang, sedang mereka tidak tinggal di daerah hukum pengadilan negeri yang sama, maka tuntutan itu diajukan kepada ketua pengadilan negeri ditempat salah seorang tergugat yang dipilih oleh penggugat. Jika yang digugat itu adalah seorang debitur utama dan seorang penanggungnya maka tanpa mengurangi ketentuan pasal 6 ayat (2) "Reglemen Susunan Kehakiman dan Kebijaksanaan mengadili di Indonesia", tuntutan itu diajukan kepada ketua pengadilan negeri di tempat tinggal debitur utama atau salah Seorang debitur utama".
Pasal 118 ayat (3) HIR menyatakan bahwa "Jika tidak diketahui tempat diam si tergugat dan tempat tinggalnya yang sebenarnya, atau jika tidak dikenal orangnya, maka tuntutan itu diajukan kepada ketua pengadilan negeri di tempat tinggal penggugat atau salah seorang penggugat, atau kalau tuntutan itu tentang barang tetap, diajukan kepada ketua pengadilan negeri yang dalam daerah hukumnya terletak barang tersebut".
 Pasal 118 ayat (4) HIR menyatakan bahwa "Jika ada suatu tempat tinggal yang dipilih dengan surat akta, maka penggugat, kalau mau, boleh mengajukan tuntutannya kepada ketua pengadilan negeri yang dalam daerah hukumnya terletak tempat tinggal yang dipilih itu".
Tiap-tiap pengadilan Negeri mempunyai wilayah hukum tertentu atau yurisdiksi relatif tertentu yaitu meliputi satu kota madya atau satu kabupaten. Dalam artinya untuk mengetahui kemana orang akan mengajukan perkaranya dan hubungan dengan hak eksepsi tergugat. Contoh persoalan dalam adanya kekompetensian Relatif ialah bagaimana jika seorang tergugat memiliki beberapa tempat tinggal yang jelas dan resmi. Dalam hal ini, penggugat dapat mengajukan gugatan ke salah satu PN tempat tinggal tergugat tersebut. Misalnya, seorang tergugat dalam KTP-nya tercatat tinggal di Tangerang dan memiliki ruko di sana, sementara faktanya ia juga tinggal di Bandung. Dalam hal demikian, gugatan dapat diajukan baik pada PN di wilayah hukum Tangerang maupun Bandung. Dengan demikian, titik pangkal menentukan PN mana yang berwenang mengadili perkara adalah tempat tinggal tergugat dan bukannya tempat kejadian perkara (locus delicti) seperti dalam hukum acara pidana.

SUMBER RUJUKAN :
·         Hukum Acara Perdata (Dr. Kamarusdiana, M.H)
·         Hukum Acara Perdata Indonesia (Abdulkadir Muhammad)
·         Peradilan Agama di Indonesia (Linda Firdawaty)

Kompetensi Absolut Acara Perdata


Yaitu kewenangan mengadili perkara dari suatu pengadilan berdasarkan pada kewenangan/beban tugas yang ditetapkan oleh undang-undang. Kewenangan mengadili perkara yang di beban kan kepada pengadilan negeri meliputi perkara perdata dan perkara pidana pada tingkat pertama. Yang artinya kekuasaan pengadilan yang berhubungan dengan jenis pekara atau jenis pengadilan.
Kompetensi absolut  suatu badan peradilan atribusi kekuasaan berbagai jenis peradilan untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Pasal 10 ayat (1) Undang-undang No. 14 tahun 1970 menjelaskan 4 macam lingkungan peradilan di Indonesia yaitu;
1)      Peradilan Umum
2)      Peradilan Agama
3)      Peradilan Militer, dan
4)      Peradilan Tata Usaha Negara   
  Dalam hal ini, kemudian timbul pertanyaan bila seseorang merasa haknya dilanggar, kemanakah gugatannya harus diajukan ?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut harus dipahami kompetensi absolut dan relatif peradilan.  
       Apabila seseorang akan menyelesaikan sengketa perdatanya di Peradilan Negeri maka harus berdasarkan perkara-perkara yang termuat dalam kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata)  dan UU No. 1 tahun 1974 yang berkenaan masalah perkawinan. Khusus bagi perkara perkawinan maka yang menjadi wewenang Peradilan Negeri adalah perkawinan bagi orang diluar islam yaitu Kristen, Hindu, Budha, Katholik. Sementara perkara perdata perkawinan, kewarisan, wakaf, hibah, wasiat, sedeqah, dan sengketa ekonomi syariah menjadi kompetensi absolut peradilan Agama. Contohnya : Pengadilan Negeri berwenang menyelesaikan perkara perdata umum, perkara pidana, bukan perkara perdata islam. Dan PN berwenang menyelesaikan masalah perdata non-muslim.
KEWENANGAN PERADILAN UMUM
Peradilan Umum atau lebih dikenal dengan Pengadilan Negeri memilih  kewanangan untuk mengadili perkara pidana dan perdata. Tetapi dalam hal perkara permohonan pailit dan sengketa ketenagakerjaan menjadi wewenang peradilan khusus yang berada di lingkungan peradilan umum yaitu Pengadilan Niaga dan Perngadilan Hubungan Industrial.

KEWENANGAN PERADILAN AGAMA
Kewenangan peradilan agama antara lain mengenai perkara: Perkawinan, yaitu talak, cerai, pembatalan perkawinan beserta akibat hukumnya; Kewarisan meliputi waris, wasiat, hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam (berarti bahwa para pihak tidak harus beragama Islam, tetapi didasarkan pada Hukum Islam); Wakaf dan Shadaqah.
KEWENANGAN PERADILAN MILITER
Peradilan Militer berwenang mengadili perkara pidana yang terdakwanya adalah anggota TNI, tanpa melihat apakah korban tersebut adalah sesama TNI ataupun warga sipil.
Dan apabila apa yang telah ditetapkan menjadi kewenangan suatu badan perdilan maka mutlak menjadi kewenangannya untuk memeriksa dan memutuskan perkara yang telah menjadi kekuasaanya. Kalau tidak termasuk kekuasaan absolutnya, setiap pengadilan negeri, agama, tata usaha negara, maupun militer dilarang menerimanya. Jika ada pengadilan ada yang menerima di luar kekuasaannya maka pihak tergugat dapat mengajukan keberatan yang disebut dengan eksepsi absolute.
KEWENANGAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA
Kewenangan PTUN yaitu mengadili sengketa Tata Usaha Negara antara Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dengan masyarakat, baik orang maupun badan hukum, akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat Konkret, Individual, dan Final.


SUMBER RUJUKAN :
·         Hukum Acara Perdata (Dr. Kamarusdiana, M.H)
·         Hukum Acara Perdata Indonesia (Abdulkadir Muhammad)
·         Tata Hukum Indonesia (Kusna Goesniadhie)